43 (Penawar Luka)

4.8K 196 11
                                    

Part 43 - Penawar Luka

"Ya, kan emang dasarnya begitu, Alvaro. Kita nggak bisa merubah apa yang digariskan oleh Tuhan."

• • 🐧 • •

Sudah satu minggu lebih, Alaric terlelap dengan nyenyak. Walau begitu, Alina tetap setia menunggu kakaknya terbangun dari koma.

Ayah dan bunda Alina juga turut mendampingi anaknya yang tengah berjuang. Mereka baru saja tiba pada hari Kamis lalu.

"Alina pulang, ya? Besok 'kan kamu sekolah," ucap Bunda.

"Alina nginep di sini aja, Bun. Kemarin Jumat, udah aku bawa seragam sama buku-bukunya, kok."

Bunda mengelus rambut anak perempuannya dengan lembut. "Ya udah, kamu boleh nginap di sini. Tapi, PR jangan lupa dikerjakan."

"Yeay! Sayang Bunda!"

"Nggak sayang Ayah, nih?" sahut ayah Alina yang baru saja selesai menunaikan shalat Maghrib.

"Sayang Ayah, juga!"

Keluarga kecil tersebut berpelukan, menyalurkan kehangatan serta kebahagiaan.

• • 🐧 • •

"Belajar yang rajin, Al."

Alina menyengir lebar kepada ayahnya, lalu menyalami tangan ayahnya. "Siap, Bos! Aku sekolah dulu, Yah. Nanti aku WA kalau udah pulang."

Setelah berpamitan dengan ayahnya, Alina segera keluar dari mobil Avanza tersebut. Ia melangkah memasuki sekolah, menuju kelasnya yang terletak di lantai dua.

"Nanti pulangnya Kakak yang jemput, ya."

"Iya, adikku yang paling cantik. Nanti Kakak jemput."

Alina tersenyum getir melihat pemandangan seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya, begitupun sebaliknya. Ia jadi teringat dengan kakaknya, Alaric. Tanpa ia sadari, sebulir air mata menetes di pipinya.

"Jangan dilihat kalo buat lo sakit."

Alina mendongak, menatap seorang laki-laki bertubuh atletis dengan seragam putih abu-abu beserta almamater yang membalut tubuhnya. Dia, Alvaro.

"Gue kelilipan tadi, Ro." Alina mengusap pipinya dengan kasar. Ia mencoba tersenyum di hadapan Alvaro. "Mau ke kelas? Bareng, yuk!"

Alvaro menganggukkan kepalanya. Ia berjalan mengikuti Alina, menuju kelas XI IPS 1.

Baru saja sampai di lantai 2, Alina hampir terjatuh karena tergelincir. Untung saja, Alvaro dengan sigap menolong dirinya. Laki-laki itu menundukkan kepalanya, menatap sebuah benda yang menjadi penyebab Alina tergelincir. Kulit pisang, batinnya.

"Thanks," ujar Alina. Ia dan Alvaro kembali berjalan menuju kelasnya yang terletak di ujung.

Di balik tembok toilet, seorang gadis tengah menatap dengan penuh kebencian ke arah dua sejoli tersebut.

"Sial!"

• • 🐧 • •

Bel pulang telah berbunyi semenjak 30 menit yang lalu. Saat ini, Alvaro beserta Dave tengah melakukan pemanasan sebelum bermain basket.

Alvaro dan Alina ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang