65 (Beautiful Big Baby)

1.8K 119 8
                                    

•••

"Ini diminum dulu, cah ayu."

Alina mengangguk lalu menerima secangkir teh hangat dari istri Pak Parjo, satpam sekolahnya.

"Masih kedinginan, nggak? Saya ambilkan selimut kalau masih kedinginan."

"Nggak usah, Bu. Ini malah udah cukup hangat buat saya, terima kasih."

"Ya udah, kalau gitu Ibu masuk ke rumah dulu, mau shalat magrib. Kamu nggak shalat?"

Alina menggeleng. Ia juga menjelaskan bahwa ia tengah berhalangan. Paham maksud perkataan Alina, istri Pak Parjo pun masuk ke dalam rumahnya. Kini hanya tersisa Alina yang duduk sambil dibalut selimut tipis di teras rumah Pak Parjo. Gadis itu kini melamun, entah apa yang dipikirkannya.

Beberapa menit kemudian terdengar suara para lelaki yang sedang bercengkerama. Rupanya Alvaro dan Pak Parjo baru saja pulang dari masjid.

Pak Parjo masuk ke rumah duluan karena ia ingin ganti baju. Kini tak hanya Alina yang duduk di teras. Merasa tak enak jika berlama-lama di sini, Alina membuka mulutnya.

"Ro, pulang yuk. Nggak enak sama Pak Parjo dan keluarganya kalau lama-lama di sini."

Alvaro mengangguk. Saat Pak Parjo keluar dengan setelan baju yang berbeda, Alvaro mengatakan bahwa ia dan Alina harus segera pulang ke asrama karena hari sudah malam. Setelah izin kepada Pak Parjo dan istrinya, kedua remaja tersebut pulang bersama menggunakan motor Alvaro. Alina tidak diizinkan oleh Alvaro untuk menaiki sepedanya, dengan dalih bahwa gadis itu masih syok. Lihat saja tangan Alina yang masih gemetar saat digenggam Alvaro.

Tak berapa lama kemudian, keduanya telah berjalan menembus dinginnya angin malam. Nyatanya Alvaro tak melajukan motornya menuju asrama, namun menuju deretan pedagang kaki lima di jalan.

"Lo gila, Ro? Kenapa ngajak ke sini? Gue belum ganti baju. Ini aja masih pakai kaos olahraga punya istri Pak Parjo."

Ya, bukannya pujian tapi perkataan protes yang Alvaro terima setelah sampai di dekat pedagang soto.

"Niat gue baik pengin bikin lo kenyang dulu sebelum pulang. Emang mau udah pulang terus bingung makan apa karena nggak ada makanan?"

"Tahu darimana kalau gue nggak ada makanan?"

Alvaro tertawa. "Perempuan kayak kamu tuh lebih pilih jajan. Hahaha."

Melihat raut muka Alina yang datar dan terlihat tidak senang dengan candaan yang ia ucapkan membuat Alvaro berspekulasi yang tidak-tidak. Apakah gadis itu marah? Apakah ia kesal karena Alvaro mengajaknya kemari? Terlalu banyak pertanyaan yang berputar di pikirannya. Untuk menghindari suasana yang semakin canggung, buru-buru Alvaro menarik pergelangan tangan Alina untuk masuk ke tenda pedagang soto.

Kepulan asap dari soto yang baru saja disajikan cukup membuat kedua pasang remaja di hadapannya menelan ludah. Angin malam yang dingin hari ini bisa membuat orang-orang merasakan dingin yang bahkan bisa membuat sakit seperti gejala flu dan masuk angin, sehingga makanan serta minuman yang hangat adalah solusi yang tepat untuk menghangatkan tubuh selepas ditusuk-tusuk oleh dinginnya angin malam.

Sesuap demi sesuap nasi yang masuk ke dalam mulut Alina membuat cacing-cacing di perutnya berhenti memberontak. Tenggorokannya yang terasa kering pun kini tak lagi demikian karena kuah dari soto yang dimakannya. Gosh, ia benar-benar setuju dengan menu makan malam pilihan Alvaro.

Tak usah bertanya pun Alvaro tahu bahwa gadis yang saat ini masih mengenakan kaos olahraga tersebut begitu menikmati semangkuk soto di hadapannya dengan lahap. Tak ada yang berbicara diantara keduanya sampai menu makan malam yang dimakan masing-masing tandas ditutup dengan suara sendawa kecil.

"Masih lapar?" Alvaro menyeruput segelas teh jeruk di hadapannya, "mau tambah?"

Yang benar saja, perut Alina saat ini sudah hampir meledak karena kekenyangan dan Alvaro menawari dirinya untuk menambah satu porsi lagi? Alina memang bukan tipikal perempuan yang sangat menjaga pola makannya, namun ia akan berkata tidak jika seseorang menawarinya makanan saat dirinya merasa kenyang. Kalau ia memaksa, maka makanan tersebut tidak akan bisa ia habiskan. Gadis itu pun menggeleng cepat menanggapi tawaran Alvaro.

"Kamu nunggu di motor aja, nanti aku susul."

"Terus makanannya..."

"Aku yang bayar dan jangan protes."

Alina tak bisa berbuat apa-apa lagi saat Alvaro menghampiri pedagang tersebut dengan dompet kulit berwarna coklat, tanda bahwa ia yang akan membayar seluruh pesanannya. Iya, pesanan Alvaro dengan dirinya.

•••

Angin malam kembali menusuk pori-pori kulit Alina yang tak tertutup oleh sehelai kain saat Alvaro membawa dirinya pulang menuju asrama. Walaupun ia sudah mengenakan jaket milik Alvaro, tetapi angin tersebut dengan nakalnya masuk melalui celah-celah sehingga membuat Alina terkadang mengusap-usap tangannya untuk menyalurkan kehangatan. Karena angin yang sepoi-sepoi itulah, Alina juga merasakan kantuk. Matanya yang acap kali tertutup tak bisa membohongi lagi jika ia benar-benar mengantuk.

Ia berusaha untuk membuka matanya dan menatap ke depan. Sial, punggung tegap dan lebar milik Alvaro benar-benar nyaman untuk bersandar. Akan sangat nyaman jika Alina menjatuhkan kepalanya ke punggung tersebut dengan kedua tangannya yang memeluk erat si pemilik punggung tegap nan lebar itu. Ah, apa yang ia pikirkan. Alina sudah bukan siapa-siapa lagi untuk Alvaro karena hubungan mereka sudah kandas sejak lama. Sejak kematian adik perempuan Alvaro, Isabella. Rasa kantuk ini benar-benar membuat Alina berpikir ke mana-mana.

Rupanya gerak-gerik Alina berhasil ditangkap oleh kedua mata Alvaro saat dirinya tanpa sengaja melirik spion sebelah kiri yang menampilkan pantulan Alina tengah berusaha keras menahan kantuk. Ia terkekeh pelan dan membiarkan gadis itu menuruti egonya. Saat motornya berhenti di lampu merah, Alvaro mengeluarkan suara bagaikan surga bagi Alina.

"Senderan aja nggak apa-apa, Al. Nggak usah gengsi."

Bukan Alina jika ia mau-mau saja menuruti apa kata Alvaro. Ia masih mempertahankan egonya sambil berusaha akting layaknya orang yang segar bugar sehabis bangun dari tidurnya yang berkualitas.

"Kalau kamu nggak mau senderan, aku ngebut." Ucap Alvaro yang tentu saja hanyalah sebuah gertakan agar gadis di belakangnya meruntuhkan tembok gengsinya.

"Hoahm, iya-iya. Jangan ngebut kalau malem, nggak baik."

"Nggak akan ngebut kalau lagi bawa bayi besar yang lagi tidur. Nanti dia nangis kalau tidurnya diganggu."

"Apaan sih," gerutu Alina.

Tepat saat lampu lalu lintas berwarna hijau, punggung Alvaro ditubruk pelan oleh kepala Alina. Gadis itu juga menggeliat mencari posisi ternyaman untuk memuaskan rasa kantuknya.

Sambil memegang stang motor agar tidak oleng saat berkendara menembus jalanan, tangan kiri Alvaro yang bebas itu menarik kedua lengan Alina yang semula berayun-ayun di sisi motor kemudian dibawa ke depan perutnya. Tak lupa ia mengaitkan jemari gadis tersebut agar pelukannya semakin erat.

"Nah, kalau gini kan bayi besar bisa tidur nyenyak."

•••

Hai, kependekan nggak?
Ini gue paksain buat nulis biar kalian gak lupa sama alur (walau gue yakin 99% dari kalian pasti lupa alur cerita ini karena saking ngaretnya gue update)

Gue lagi struggling sama dunia college entrance, so kalian pasti tahu se hectic apa gue sekarang. Okay, this is so lebay.

Seperti biasa jangan lupa vote, saran dan bilang ke teman-teman kalian kalau kalian lagi baca cerita absurd ini biar temen kalian ikutan absurd :D

Ayo vote sama komentarnya yang banyak atuh biar gue semangat, hehe. See you! ♡

With luv,
Syafa

Alvaro dan Alina ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang