67 (Self-advice)

1.6K 113 10
                                    

•••

Katakan saja bahwa Alvaro adalah seorang yang pengecut karena sampai sekarang upayanya untuk menjalin relasi spesial dengan orang yang dulu sangat spesial—walau sampai sekarang masih—itu belum juga ia laksanakan. Ia juga benci mengulur-ulur waktu, namun bagaimana jika orang yang ia tuju ternyata telah berlabuh pada seseorang? Pemikiran tersebut terus bercokol di otak Alvaro selama ia mengelap cangkir-cangkir. Bahkan, ia tak sadar telah membuat satu cangkir menggelinding dan nyaris terjatuh lalu pecah jika tangan Kenzo tidak cekatan dalam meraih cangkir tersebut.

"Earth to Alvaro. Hello?" Jengah dengan sahabatnya yang sudah seperti zombie, Kenzo menjentikkan jarinya hingga mengenai dahi Alvaro sampai membuat laki-laki itu meringis. "Boleh melamun tapi jangan sampai lo pecahin cangkir-cangkir punya bos lo."

Setelah mengembalikan cangkir tersebut ke tempatnya semula, Alvaro mengucapkan permintaan maaf dengan sangat pelan. Selesai dengan pekerjaan terakhirnya di kafe tersebut, Alvaro mengajak Kenzo untuk keluar dari kafe karena jam kerja Alvaro sudah berakhir.

"Ro, sebelum lo pulang, gue pengin lo jujur sama gue. Duduk dulu."

Kedua lelaki itu duduk di bagian terluar kafe ditemani lampu kecil yang masih menyala. Alvaro menghela napas panjang karena ia saat ini ingin segera pulang untuk melepas penat, namun sepertinya sahabatnya itu tak mau dirinya pulang dilingkupi berbagai macam pertanyaan di benaknya.

"Jujur sama gue, apa yang sejak tadi lo pikirin?"

"Nggak—"

"Jangan ngelak. Pegawai tekun kayak lo nggak bakalan sampai lengah bikin satu cangkir nyaris jatuh kalau lo nggak mikirin sesuatu."

Kenzo memang laki-laki paling peka dengan sekitar yang pernah ia temui. Sulit untuk mengelabui Kenzo karena laki-laki itu pasti menggunakan otak cerdasnya untuk terus mencerca dirinya dengan beragam pertanyaan sampai membuat sang lawan bicara mengatakan sejujur-jujurnya tanpa ditutup-tutupi lagi. Di malam yang sunyi dan sepi karena para manusia di jam tersebut lebih memilih untuk mendekam di rumahnya yang hangat, Alvaro menceritakan segalanya tanpa dibumbui dan tidak dikurangi. Sebagai pendengar yang bijak, Kenzo terus menaruh atensi pada kata demi kata yang diucapkan sahabatnya.

"Gue harus gimana? Di satu sisi gue pengin perbaiki semuanya, tapi di sisi lain dia udah punya seorang yang lebih baik dan layak."

Pertanyaan Alvaro dibiarkan mengambang cukup lama oleh Kenzo karena laki-laki itu tengah berpikir mengolah kata yang pas untuk sahabatnya yang saat ini dilanda problematika anak remaja. Sejujurnya, ia cukup bingung karena belum pernah mengalaminya, tetapi Kenzo harus membantu sahabatnya yang makin hari makin terlihat menyedihkan itu.

"Jujur, mungkin gue nggak bisa kasih solusi yang tepat buat ’masalah‘ lo." Ucap Kenzo dengan dua pasang jemarinya yang naik turun seakan mengutip kata yang dia ucapkan. "Tapi, apa lo pernah sekalipun tanya ke dia tentang orang baru itu? Bisa aja kan, orang baru itu cuma hadir mengulurkan tangannya ke dia tapi bukan bermaksud buat menarik yang lain juga."

Dahi Alvaro mengerut. Apa yang hendak disampaikan oleh sahabatnya ini?

Melihat gerak-gerik Alvaro, sudah pasti laki-laki itu tak memahami kata yang ia ucapkan. "Hati. Gue tahu kalau Alina masih sayang sama lo, walaupun udah lo tuduh sampai lo caci maki, dia masih menaruh hatinya ke lo. Begitupun sebaliknya. Cuman, gue sangat menyayangkan rasa gengsi diantara kalian."

•••

Bilang sama dia kalau lo masih sayang dan pengin keadaannya balik seperti dulu. Jangan lupa minta maaf karena itu salah satu hal yang paling penting buat kalian berdua. Mungkin sekarang dia masih sayang sama lo, tapi manusia nggak ada yang tahu apa yang terjadi di masa depan bahkan di detik selanjutnya.

Alvaro dan Alina ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang