46 (Pengakuan Rasa)

4.5K 183 11
                                    

Part 46 —  Pengakuan Rasa

"Sekarang, kamu adalah milikku sampai selamanya."

• • 🐧 • •

Wajah kakaknya yang tertidur pulas merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Alina. Sekarang, ayah dan ibunya memutuskan untuk tinggal di Jakarta, menemani kedua anaknya.

Bunda Hanum yang baru saja selesai menunaikan ibadah salat, menghampiri putrinya. "Kak Aric nggak bakalan ilang, Al."

"Eh, Bunda. Alina cuma mau lihat kondisi kakak aja."

Hanum mengusap kepala Alina. "Dulu, kakakmu ini suka banget main sepak bola. Kak Aric dulunya pengin banget punya adik laki-laki. Tapi, yang keluar malah kamu."

"Terus Kak Aric gimana?"

"Kak Aric awalnya cemberut gitu, tapi akhirnya dia mau nerima kamu. Waktu kamu masih kecil, setiap sore pasti kakakmu ngajak main sepak bola. Bunda sama Ayah udah peringatin kakak kamu, tapi dia tetep aja bandel. Katanya, Kak Aric mau Ara jadi pemain sepak bola kayak Kak Aric."

Alina terkekeh mendengar penuturan bundanya. "Eum, Bun, Alina mau pamit pulang ke asrama. Udah malem soalnya. Alina juga masih harus nyiapin buat sekolah besok."

"Biar Ayah yang nganter kamu," ucap Ayah Alina yang baru saja datang.

Alina tersenyum lebar. Ia berpamitan kepada Bunda dan kakaknya yang masih tertidur pulas, tanpa tahu bahwa sebenarnya Alaric sedari tadi hanya memejamkan matanya saja, tidak terlelap ke dalam dunia mimpi.

• • 🐧 • •

Jam tujuh tepat, Alina tiba di depan kamar asrama miliknya. Ketika ia sedang mencari kunci kamar, terdengar suara pintu yang terbuka.

Alina menoleh lalu tersenyum. "Mau berangkat kerja, Ro?"

"Iya," ujar Alvaro sambil merapikan kerah kemejanya.

"Nggak capek dapat shift malam? Besok kan, masih sekolah."

"Capek itu udah resikonya."

"Kalau gitu, semangat kerja, Ro! Hehe."

Ketika Alina hendak membuka pintu, suara Alvaro menahan dirinya.

"Habis dari mana?"

"Rumah orang tua gue. Lo tahu, kakak gue udah sembuh, Ro! Dan, orang tua gue mutusin buat tinggal di kota ini juga."

"Syukurlah. Titip salam buat kakak dan ortu lo."

"I—iya. Hati-hati di jalan."

Alvaro mengangguk lalu beranjak menuju pelataran parkir. Sedangkan Alina, ia buru-buru masuk ke kamarnya. Di balik pintu, ia mati-matian berusaha untuk menetralkan detak jantungnya.

"Gila, omongan sama Alvaro efeknya se-dahsyat ini."

• • 🐧 • •

"Alinaaa! Lo disuruh ke ruang OSIS, tuh!"

Teriakan Jeniffer yang melengking membuat Alina yang tadinya asyik membaca novel, langsung mendongakkan kepalanya. Ia pun menghampiri gerombolan Jeniffer.

"Ada apa?" selidik Alina.

"Mana gue tahu. Tadi ada anak OSIS nyamper ke sini," kata Jeniffer sambil meniup-niup kukunya yang habis diwarnai dengan kutek berwarna merah muda.

Alvaro dan Alina ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang