7.Panas

17.3K 590 3
                                    

Vanka bernafas lega setelah keluar dari toilet. Ia berjalan kembali menuju kelasnya melewati lorong kelas 11.

Dari jauh Vanka bisa melihat Ryan yang berpakaian baju basket sedang berjalan berlawanan arah dengannya hendak ke toilet.

Vanka menghadang Ryan dengan merentangkan tangannya. Ryan terhenti.

"Kita belum selesai."

"Minggir," kata Ryan dengan tatapan dinginnya.

Vanka menggeleng.
"Lo tahu? gara-gara lo pantat gue ampe sekarang masih sakit."

"Terus lo mau apa?"

"Baikan."

Ryan masih setia menatap Vanka dengan tatapan dinginnya.
"Terus?"

"Kita te... men... nan?" jawab Vanka ragu malah terdengar seperti pertanyaan. Ia merasa aneh menawarkan pertemanan pada Ryan yang sebenarnya adalah musuh paling berbahaya dalam hidupnya.

Ryan tersenyum miring
"Berteman? gue gak berteman sama cewek. Apalagi sama cewek kayak lo!"

"Gue pengen memperbaiki hubungan kita," jawab Vanka yang berhasil membuat Ryan terdiam beberapa detik.

Ryan merasakan keanehan. Ryan tahu, Vanka tidak menyukainya. Tapi hal itu mampu membuat Ryan terkejut dalam hati.
"Atas dasar apa?"

"Yah, gue cuman gak mau punya musuh. Biar lo gak ngejahatin gue lagi."

Ryan mengangkat sebelah alisnya.
"Kayaknya itu cuman nguntungin lo aja."

Usai berkata demikian, Ryan berlalu menabrak sedikit bahu Vanka. Vanka hanya bisa memejamkan matanya sebelum beranjak dari tempatnya.

Sebenarnya ia tidak mau melakukan ini. Tapi ini adalah bagian dari rencananya dan Rafa.

Vanka mendapati Rafa tengah berjalan kearahnya. Ia kira Rafa akan menyusul Ryan. Namun, Rafa menghentikannya saat mereka berselisihan.

"Kalian bertengkar lagi?" tanya Rafa.

Vanka menghela nafas dan menggeleng.
"Pendekatan. Sulit ternyata."

"Pelan-pelan aja. Cepat atau lambat dia bakal luluh," kata Rafa meyakinkan.

"Kenapa lo bisa seyakin itu sama gue?"

"Karena cuman lo yang bisa gue harapin. Lo harus bisa deketin dia," tekan Rafa.

"Ini nggak ada untungnya," keluh Vanka.

"Dengar, Ryan itu pintar menyembunyikan perasaannya. Karena dia punya gengsi yang tinggi. Jadi lo harus lebih berusaha lagi."

Vanka memijit pelipisnya.
"Oke. Gue harus balik. Entar guru curiga lagi gue lama banget keluarnya."

Rafa mengangguk dan membiarkan Vanka pergi.

"Lama banget sih lo?" tanya Novi saat Vanka sudah di kelas. "Guru nyuruh kita bikin kelompok berdua-berdua. Gue udah sama Anne. Lo sama siapa?"

Vanka mulai melihat ke sekeliling kelas. Sepertinya semua orang sudah punya pasangan.

Vanka melirik Kevin dengan sudut matanya.

"Vin?" panggil Vanka ragu.

"Ya?" jawab Kevin dan menoleh kepada Vanka yang duduk di sampingnya.

Vanka menelan ludahnya "Lo... kelompok sama siapa?"

"Gak ada pilihan," jawab Kevin.

"Maksud lo? lo belum tahu?" tanya Vanka lagi.

Kevin mengangguk. Vanka menjadi sumringah. Memikirkan satu kelompok dengan Kevin saja entah kenapa membuatnya bahagia. Ia bahkan lupa dengan kejadian di taman kemarin.

#1 Only You (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang