Rafa,Arsen, dan Danies memasuki sebuah kafe yang bernama Nala Coffee Sancuary di kawasan Jakarta selatan. Kafe tersebut memiliki ruangan dengan pencahayaan yang terang, dinding yang dominan warna putih, furniture kayu, dan lantai kayu yang eksotis.
Mereka memilih meja yang agak di sudut. Jarak antara meja yang satu dengan meja yang lainnya tidak terlalu dekat sehingga privasi bisa terjaga.
"Lo udah nelpon Ryan buat ngajak dia ke sini?" tanya Danies pada Rafa.
Rafa mengangguk. "Udah. Tapi, gak ada jawaban."
"Coba lagi," suruh Arsen pada Rafa.
Rafa langsung melaksanakannya. Ia menunggu dengan gelisah. Hinga akhirnya Ryan menjawab teleponnya.
"Hallo, Ryan. Lo lagi sibuk ya?" tanya Rafa langsung to the poin.
"Gak."
"Gue sama yang lain lagi di kafe Nala Coffe Sanctuary. Buruan gih kesini. Kita tungguin."
"Gak!"
Wajah Rafa mengerut. Tidak seperti biasanya Ryan mau tertinggal kalau mereka pergi hang out.
Rafa hendak menjawab, namun Ryan sudah memutuskan teleponnya.
Rafa berdecak. "Gak pernah berubah ni orang."
"Kenapa?" tanya Danies heran.
"Dia gak akan datang," jawab Rafa.
"Jelas aja. Orang lagi patah hati," seru Arsen.
"Maksud lo?" tanya Rafa.
"Tadi pas gue ke kantin sama dia, Ryan sempet liat Vanka sama Kevin makan bareng," jelas Arsen.
"Makanya dia balik duluan.""Pantes tuh anak sewot pas ditanyain," kata Danies manggut-manggut.
Rafa menatap Arsen dengan kesal. "Kenapa lo baru ngomong kalau dia gak akan datang karena hal itu? gue kan jadinya gak perlu lagi nelpon dia."
"Gue manusia. Jadi wajar kalau gue bisa lupa," tukas Arsen membela diri.
"Jangan salahin Arsen. Gak ada salahnya lo ngehubungin dia. Tuh anak kalau tahu kita keluar dan enggak ngajak dia, pasti bakalan ngamuk," lerai Danies.
"Oke. Lagian tuh anak kayak cewek aja kalau patah hati." Rafa menggelengkan kepala tidak mengerti dengan sikap Ryan.
"Emang cewek itu gimana kalau lagi patah hati?" tanya Arsen penasaran.
Rafa melirik Danies. "Apa perlu gue jelasin yang ini?"
Danies menyeringai. "Kasih tahu aja. Biar ni cowok polos gak polos-polos amat."
Rafa mendengus. "Jadi, cewek itu kalau patah hati bakalan badmood, males ngapa-ngapain, apalagi keluar. Temen yang berusaha ngehubungin aja kadang diabaikan. Kerjaannya ngurung diri di kamar," jelas Rafa panjang lebar. "Persis kayak Ryan, kan?"
Arsen mengangguk. "Jadi, kita bisa tahu juga kalau cewek yang lagi keliaran itu berarti lagi gak patah hati,kan?"
Rafa menganga dan menggaruk kepalanya frustasi. "Gak gitu juga!"
Danies berdehem. "Maksud Rafa itu sebagian. Gak semua cewek gitu. Ada juga cewek yang ngelampiasin rasa sakit karena patah hatinya dengan jalan-jalan, biar lupa sama masalahnya."
"Tapi, Rafa cuman bilang cewek. Itu artinya kan untuk semua yang jenis kelaminnya betina," protes Arsen.
"Oke. Gue yang salah," kata Rafa menyalahkan dirinya. Memang kalau bicara dengan Arsen harus dengan sejelas-jelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
#1 Only You (Complete)
Teen Fiction"Kenapa sih lo suka banget cari masalah sama gue?"tanya Vanka dengan nafas yang masih memburu. "Karena gue pengen selalu terhubung sama lo," jawab Ryan dengan senyum miring khas di wajahnya. Dan sejak itu, Vanka rasa hidupnya benar-benar sial. ****...