"Harusnya gak kayak gini!" keluh Vanka kesal saat menemui Rafa di belakang gedung musik. Seperti biasanya mereka akan bertemu di sini untuk membahas sesuatu yang penting.
Rafa berdehem. "Gue juga gak berpikir kalau lo yang bakal tunduk gitu sama dia."
"Kayaknya gue terjebak dalam permainan ini,deh! Kasih solusi napa, Raf!"
Rafa terdiam sejenak. "Gue saranin lo lawan aja dia. Dia gak akan keras kok kalau sama lo."
Vanka mendengus. "Gimana gue mau ngelawan, setiap kali gue mau ngebantah kehendak dia, dia pasti bilang gini ...." Vanka menirukan ekspresi tajam Ryan, "Gue gak nerima penolakan."
Rafa terkekeh. "Emang bener sih kalau Ryan itu kayak gitu. Tapi lo harus ngelawan dia. Dia itu suka ngatur lo karena dia takut kehilangan lo."
"Apa lo yakin ini bakal berhasil?" tanya Vanka menyipitkan matanya menatap Rafa yang juga menatapnya dengan santai.
"Ya. Percaya gue."
"Lo selalu bilang kalau apapun rencana kita bakal berhasil. Tapi, nyatanya?"
"Udahlah! Ikutin aja saran gue. Gue tahu kalau lo juga mulai ada rasa sama dia," sinis Rafa.
Vanka langsung gelapan karena tertangkap basah. Wajahnya sedikit merona karena malu. Bagaimana bisa Rafa tahu?
"Gak usah merona gitu. Lagian Ryan juga punya rasa yang sama kan?" kata Rafa. "Kalau dia gak suka sama lo boleh lah kalau lo ngerasa malu."
"Gue gak yakin kalau dengan gue ngelawan dia, ini bisa berhasil." Vanka menggeleng. Nyalinya selalu menciut jika berhadapan dengan Ryan. Ia tidak pernah merasa sebegitu takutnya pada seseorang. Hanya pada Ryan!
"Lo harus yakin."
Vanka menggeleng cepat. "Tapi tadi pagi dia ...."
"Bilang aja!"
Vanka menelan ludahnya saat mengingat bagaimana Ryan mengusirnya.
"Dia ngusir gue dari mobilnya dengan kasar."
"Kasar gimana?"
Vanka pun menceritakan kejadian tadi pagi. Ia juga meniru nada bicara Ryan yang tinggi saat mengusirnya.
Rafa tersenyum. "Dia emang gitu kalau marah. Lebih baik dia nunjukin kemarahan dia daripada dia diam aja. Karena itu lebih berbahaya."
"Dia itu cepet banget berubahnya. Kemarin-kemarin perlakuan dia manis banget," kata Vanka yang teringat sikap Ryan yang berbeda saat bertamu kerumahnya. Apa sikapnya begitu karena saat itu mereka sedang di rumah Vanka.
"Lo harus mulai memahami dia. Dia emang kadang uring-uringan. Sikapnya gak nentu."
Vanka mendesah lemah. "Oke. Gue ngerti sekarang."
Rafa melirik jam tangannya. "Gue harus balik."
Vanka mengangguk, dia pun segera beranjak setelah Rafa pergi.
Vanka berjalan di lorong sekolah dan melihat Anne yang berjalan sendirian berlawanan arah. Saat mereka berpapasan, Vanka segara menarik tangannya dan membawanya ke taman sekolah.
Untungnya Anne saat ini tidak punya mood untuk melawan.Mereka berdiri berhadapan dengan jarak setengah meter.
"Gue mau bicara sama lo," kata Vanka menatap Anne dengan serius.
Anne tidak membalas tatapannya. Ia mengalihkan pandangannya ke samping kanan. "Gue gak punya banyak waktu."
"Soal ... Ryan ...." Vanka terbata dan menghela nafas. "Gue minta maaf. Gue gak tahu kalau dia bakalan ngelakuin itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
#1 Only You (Complete)
Teen Fiction"Kenapa sih lo suka banget cari masalah sama gue?"tanya Vanka dengan nafas yang masih memburu. "Karena gue pengen selalu terhubung sama lo," jawab Ryan dengan senyum miring khas di wajahnya. Dan sejak itu, Vanka rasa hidupnya benar-benar sial. ****...