"Van, kita ke kantin yuk!" ajak Kevin tiba-tiba.
Ryan membanting pintu rumahnya dengan kasar. Tasnya ia sandang di bahu kanannya, bajunya juga tidak dimasukan ke dalam membuatnya terlihat seperti anak brandalan.Ryan melewati Ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu. Dia sempat terkejut melihat Ayahnya pulang. Namun ia memilih berlalu melewatinya begitu saja.
"Ryan! Tidak sopan sekali kamu tidak menyapa Ayah lebih dahulu," seru Ayahnya.
Ryan yang hendak melangkahkan kakinya menaiki tangga, jadi terhenti dan berbalik demi melihat ekspresi ayahnya yang sedang dongkol.
"Apa kabar ayah," sapa Ryan dan memaksakan sesungging senyuman palsunya.
"Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Andreason tanpa menjawab sapaan Ryan.
"Yah. Baik," jawab Ryan datar.
"Kemarilah. Ayah ingin bicara. Kita tidak punya waktu banyak," pinta Andreason.
Ryan menurut dan duduk di seberang ayahnya.
"Kamu memperlakukan Mbok Tin dengan baik,kan?"
Ryan berdecih. "Seharusnya ayah menanyakan 'Apakah Mbok Tin melakukan tugasnya dengan baik?' Dan bukan yang tadi."
Andreason menghela nafas. "Ayah sangat tahu sifat kerasmu itu,Ryan."
"Aku juga sangat tahu dengan sikap egoismu itu," balas Ryan sinis.
Andreason menggeretakan giginya. "Tidak bisakah kamu menghargai ayahmu ini sedikit saja? Ayah adalah satu-satunya anggota keluarga yang kamu miliki."
Ryan mengangkat alisnya. "Dan apakah ayah menghargai ibu selagi ibu masih di sini?"
Andreason menatap Ryan garang. "Jangan memulainya,Ryan!"
"Oh, Ayah yang memulainya. Aku hanya membalas perkataanmu sesuai fakta."
Andreason tahu Ryan membencinya. "Ryan, bisa kah kita bersikap normal sekali saja? kita tidak punya waktu banyak. Dan kamu selalu menghancurkan momen pertemuan kita," ajaknya melembut.
"Itu bukan salahku. Ayahlah yang sibuk bekerja. Dan bagaimana bisa kita bersikap normal di saat semuanya enggak normal lagi? Dan bagaimana bisa ayah nggak pernah merasa menyesal setelah 10 tahun ini?" tanya Ryan sinis.
Andreason terdiam membeku. Ryan pasti akan mengungkit masalalunya lagi.
"Seandainya ayah tidak berselingkuh dengan wanita picik itu, pasti kita sampai sekarang akan tetap utuh. Kita bisa bersikap normal layaknya keluarga. Tapi itu hanya pengandaian yang enggak akan pernah terjadi." Usai berkata demikian, Ryan berdiri meninggalkan ayahnya yang terdiam membeku di tempat.
Andreason mengakui kesalahannya. Tapi, tidak ada yang bisa ia lakukan saat ini untuk mengembalikan keutuhan rumah tangganya.
Setelah mengganti baju, Ryan keluar dan berjalan ke halaman belakang rumahnya. Di sana ada taman yang luas ditumbuhi berbagai tanaman hias. Ryan selalu memantaunya setiap hari.
Tempat itu selalu berhasil mengobati rasa rindunya pada Riska. Di sudut taman, ada sebuah rumah berbentuk hampir mirip seperti trapesium. Di dalam rumah ada ranjang lengkap dengan selimut dan bantalnya. Rumah itu juga dilengkapi dengan jedela.
Di depan rumah itu terdapat satu meja dan dua kursi berwarna pink.
Tempat itu adalah tempat Ryan dan Riska bermain. Tiba-tiba Ryan melihat bayangan ia dan Riska sedang berlarian. Namun hanya sejenak, bayangan itu hilang.
Tempat itu begitu terawat karena Ryan menyuruh Mbok Tin untuk mengurusnya. Ryan bisa bertahan di dalam rumah kecil tersebut dari siang hingga sore. Tak jarang juga ia tertidur di situ hingga pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
#1 Only You (Complete)
Teen Fiction"Kenapa sih lo suka banget cari masalah sama gue?"tanya Vanka dengan nafas yang masih memburu. "Karena gue pengen selalu terhubung sama lo," jawab Ryan dengan senyum miring khas di wajahnya. Dan sejak itu, Vanka rasa hidupnya benar-benar sial. ****...