31.Pergi Selamanya

11.2K 416 38
                                    

Pernahkah kau merasakan ketika sesuatu yang besar terjadi, duniamu seolah terhenti, begitu juga waktu di sekitarmu. Aku merasakan itu saat ini.

Tepat jam tujuh pagi, ibuku membangunkanku dengan tergesa dan membawaku ke ruang keluarga untuk menonton berita. Aku melihat sesuatu di sana, sesuatu yang seolah mampu menghentikan duniaku.

Mungkin semua ini ada hubungannya dengan fakta bahwa Kevin ada di sini tadi malam, meminta untuk bersamaku, dan aku menolaknya. Aku seharusnya mengiyakan saja saat tadi malam Kevin meminta untuk bertahan di sini bersamaku.

Aku hanya terdiam. Aku bahkan tidak menjeritkan kata 'Tidak' atau 'kenapa' atau kata-kata apapun yang biasanya diucapkan orang-orang di dalam film.

Aku seperti ditarik ke dalam sebuah kolam,begitu jauh, hingga apapun kata-kata yang ku dengar seperti teredam, dan saat aku memandang wajah ibuku, wajahnya terlihat berubah bentuk. Aku seperti melihat di bawah air, aku menangis.

Kevin sudah pergi. Tapi bukan kepergian seperti yang kulihat tadi malam. Bukan! Kevin benar-benar pergi dan takkan kembali. Dia pergi untuk selamanya.

Kecelakaan mobil di jalan tol Cipali. Aku tidak tahu dia mau ke mana, kenapa dia bisa berada di jalan yang di kenal angker itu.
Setelah di otopsi, dapat di ketahui bahwa Kevin mengalami patah leher,patah beberapa tulang rusuk,dan patah tulang kaki.

Kenapa kepergiannya begitu tragis? Hidupnya saja sudah sangat menyedihkan dan rumit. Dan tuhan mengambilnya dengan cara yang begitu tidak adil. Tapi bukankah tuhan maha adil? semoga semua deritanya dapat menghapuskan dosanya dan Kevin berada di tempat yang layak.

Aku mendongakan pandanganku ke langit-langit rumah. Bayangan tentang Kevin mulai berkelebat di mataku. Senyumnya,tawanya,dan pelukannya.

Aku melihat Kevin di depan rumahku, menjemputku berangkat sekolah. Aku meneteskan airmata lagi. Itu takkan pernah bisa terulang lagi.

"Kamu akan pergi kepemakamannya nanti,Van?" tanya ibuku.

Aku tersentak kembali ke duniaku. Semua seolah kembali berjalan normal. Hanya saja keadaannya terasa tidak normal lagi.

"Vanka akan datang."

Tentu saja aku akan datang untuk memberikan penghormatan terakhirku padanya.

Pemakamannya dilakukan pada siang hari. Aku bisa melihat banyak siswa-siswi yang berdatangan untuk ikut mendoakannya.

Lihatlah Kevin! ada banyak orang yang peduli padamu! kamu bisa lihatkan?

Rafa,Arsen,dan Danies juga menghadiri pemakamannya, Wajah mereka terlihat sendu. Dan Ryan, dia juga ada di sini dengan wajah dinginnya.

Aku sempat melihatnya melirikku sekilas, namun dia segera membuang muka ke arah lain.

Aku melirik wajah Ibu Kevin. Dia berserudung hitam, dengan pakaian serba hitam, dan kacamata hitamnya, menunduk.
Aku berusaha mencari keberadaan Andreason, namun aku tak menemukannya di kerumunan orang yang berkabung. Dia tidak datang.

Aku bisa melihat wajah Kevin yang pucat dengan mata tertutup rapat sebelum benar-benar tertutup tanah. Untuk seperkian detik, aku berharap matanya yang terpejam akan terbuka, aku berharap bahwa dia hanya sedang tertidur atau sedang pingsan. Tapi aku sadar, setelah dia benar-benar sudah di dalam sana dan tidak terjadi apapun, wajahnya tetap pucat, matanya tetap tertutup, dan tubuh itu begitu kaku. Tak ada lagi kehidupan di sana. Hingga aku hanya bisa melihat gundukan tanah yang menutupinya.

Kevin tidak akan pernah lagi memasuki ulang duniaku. Dia tidak akan pernah lagi muncul di depan pintu rumahku. Jika boleh jujur, kematian bukan akhir yang mudah kuterima. Kevin tidak ada di mana pun di planet ini.

Aku tidak akan pernah melihat Kevin lagi. Mengerjakan tugas bersamanya, berada dalam satu mobil dengannya dan mendengarkan ceritanya. Tidak! aku bahkan tidak akan pernah lagi pergi ke kantin bersamanya. Aku tidak akan pernah lagi melakukan apapun bersamanya.

Aku merasa bersalah. Seharusnya tadi malam aku membiarkannya tetap tinggal di rumahku dan bukan membiarkannya pergi menyetir dalam keadaan kacau. Seharusnya aku bisa menyelamatkannya dari kematiannya. Aku harusnya mengatakan bahwa dia memang harus tetap tinggal. Tapi aku tidak melakukannya, malah sebaliknya.

Kini hanya tertinggal Aku,Rafa,Arsen,Danies,dan Ryan di pemakaman. Aku berdiri di antara Arsen dan Rafa di sisi kanan makam, sedang Ryan berdiri tepat di sisi kiri makam, di seberangku dan di sampingnya berdiri Danies.

"Lihat,Kev. Ada banyak orang yang menghadiri acara pemakaman lo. Mereka peduli sama lo," kata Danies memecah keheningan, seolah dia bicara pada Kevin yang ada di dalam sana.

"Ini acara pemakamannya. Gue rasa dia nggak akan merasa tersemangati," protes Arsen yang langsung mendapati pelototan Rafa.

"Dia udah nggak bisa menundanya lagi," kata Ryan sendu. Dia masih enggan memandangku.

Aku menghela nafas, dan apa yang kukatakan selanjutnya membuat semua orang yang ada di sini memandangku, termasuk Ryan. "Ini semua salah gue. Harusnya gue nggak biarin dia pergi tadi malam."

"Maksud lo?" tanya Rafa bingung.

"Tadi malam, dia dateng ke rumah gue. Dia pengen tinggal dan nginep di rumah gue! tapi gue malah nyuruh dia pergi dan kembali ke rumah," jelasku penuh penyesalan. Setitik airmata tiba-tiba jatuh, dan itu membuat Ryan terkejut.

"Gue biarin dia nyetir dalam keadaan kacau!" lanjutku lagi.

Rafa menggeleng. "Ini semua bukan salah lo. Semuanya terjadi, karena kehendak tuhan."

Aku tiba-tiba teringat Ryan. Dulu dia juga tidak bisa menerima kepergian Riska. Tapi, jika itu Kevin apakah dia bisa menerimanya? mengingat betapa dia salah karena membenci Kevin hampir dari separuh waktu hidupnya.

"Vanka." kali Ini Arsen yang bersuara. "Gak ada yang peduli apa yang terjadi di dalam mobil malam itu atau apa hubungannya sama lo. Lo nggak bersalah. Dia kecelakaan, nggak ada yang bisa menghindari kematian."

Rafa megangguk. "Kadang, kita juga nggak nyadar. Apapun usaha yang kita lakukan untuk terhindar dari kematian, tetep kita nggak bisa menghindarinya. Kematian selalu datang tepat pada waktunya. Dan Kevin, dia emang nggak bisa lagi menundanya." Rafa melirik Ryan sekilas.

"Tapi, kematian harusnya nggak datang secepat itu." aku menunduk. Dan kurasa, aku benar-benar kekanak-kanakan.

Mereka benar. Aku harusnya menyadari semua itu. Hidup tertata agar kita tetap hidup, padahal semua orang tahu kematian adalah hal yang tidak dapat dihindari terus menerus. Sekolah,bekerja,makan,minum,tidur, tengok kiri kanan sebelum nyeberang. Semua itu kita lakukan agar terhindar dari kematian. Seperti film Final Destination yang pernah kutonton. Kematian memang dapat dihindari sampai waktu tertentu, menolong seseorang untuk terhindar dari kematiannya, tapi kembali lagi pada sang pencipta. Kita tidak bisa mengendalikan kapan waktunya seseorang untuk pergi.

Ryan menatapku, mulutnya sejak tadi terkatup rapat. Seperti ada yang dipikirkannya.

Rafa menepuk bahuku. "Jangan berpikir, bahwa kita bisa mengendalikan segalanya. Ingat, semua ini sudah diatur sama tuhan. Yang perlu kita lakukan adalah,menerima semua yang terjadi."

Aku mengangguk. "Mungkin kebahagiaan Kevin ada di alam sana."

"Pasti. Tuhan maha adil,Van," sahut Danies.

"Sebaiknya kita pulang," saran Arsen dan beranjak pergi lebih dulu.

Aku melirik Ryan, dan dia megerjap. "Gue yang akan anterin Vanka."

Ryan menyadari jika aku tidak membawa transportasi sendiri. Dan dia tidak mau siapapun mengantarku kecuali dirinya. Aku bersyukur. Sekarang Ryanku telah kembali.

*****

Tbc
Tbc

#1 Only You (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang