Chapter 1 - Her Uncertain Future

593 33 0
                                    

Up date : 10th August 2018

********

Oh ya, karena sebelumnya cuma prolog, jadi aku nggak buat bagian yang ngebahas tentang cerita sebelumnya.

********

Kepulan asap berwarna abu meliuk-liuk dengan gemulai di angkasa, diiringi dengan wangi lembut kayu-kayuan yang menggelitik hidung. Cahaya merah ujung dupa mengusir dinginnya embun pagi. Beberapa tetes air suci dipercikkan diatas seuntai lilitan janur yang membentuk sebuah wadah kecil dengan tumpukan bunga - canang. Matanya terpejam ketika mengucapkan mantra yang sudah ia hafal di luar kepala. Seraya menghirup wewangian dari asap dupa, senyuman puas tersungging di wajahnya ketika kini pekarangannya sudah di penuhi aroma lembut kayu-kayuan.

Kakinya melangkah memasuki rumah kecilnya. Di rumah inilah ia menghabiskan masa-masa mudanya. Sebuah foto dengan dirinya mengenakan toga tergantung dalam diam di dinding, foto tersebut, memerangkap wajah tersenyumnya. Ia teringat, dulu ketika namanya dipanggil untuk menerima hadiah uang dengan jumlah yang banyak, ia begitu bahagia sebagai lulusan terbaik di kampusnya. Tapi masa-masa itu sudah berlalu, masa sebagai seorang mahasiswa dengan tujuan untuk lulus dengan target yang ditentukan. Kini masa serta tujuannya memudar begitu cepat. Sama seperti lembaran-lembaran uang hadiah yang sudah dipakai untuk keperluan hidupnya sehari-hari. Setiap kali foto itu tertangkap matanya, ia selalu merasa risau akan masa depan. Hasratnya untuk melakukan sesuatu yang lebih dan luar biasa, menekannya setiap detik untuk segera melakukan sesuatu demi masa depannya. Tapi apa? Pertanyaan yang sampai detik ini tidak terjawab.

Pria itu selalu mengatakan kalimat yang sama berulang-ulang.

"... Tu, Tu Ami ditakdirkan untuk jadi orang besar."

Kalimat yang sarat akan harapan dari Si Pengucap, yang bahkan dirinya ragu bisa memenuhi harapan itu.

Beberapa bulan sudah berlalu sejak tanggal yang tertera pada foto. Jarum jam menunjukkan sudah jam setengah delapan lebih, dan ia masih dengan pakaian rumahnya di bawah atap kecil ini. Mengaduk-aduk gelas berisi kopi dan gula.

Pandangannya menerawang keluar jendela, dengan pakaian coklat terang, anak tetangganya berpamitan keluar rumah. Sebuah tas hitam berayun dalam jinjingan. Mereka bilang kehidupan anak tetangganya itu sudah 'sukses'. Entah apa definisi 'sukses' di otak mereka, ia tidak mengerti. Jika sukses berarti sebuah tunjangan di hari tua, mungkin itulah gambarannya. Setidaknya pria itu memiliki tujuan untuk bangun pagi setiap hari serta menunggu bulan berlalu. Entah sampai kapan siklus itu akan terus berjalan, ketidaktahuan itu membuatnya bergidik.

Definisi suksesnya berbeda dengan kebanyakan orang disekitarnya.

Ia tidak ingin berada di siklus itu. Ia ingin melakukan hal berbeda yang membuat jantungnya berdebar setiap harinya. Tapi hingga kini, semua itu hanya sebatas angan-angannya.

Matanya mengerjap ketika ia kembali dari lamunan. Sebuah kemeja berwarna putih yang daritadi mengayun lembut diterpa angin, kini terbang dan hinggap diatas tembok pembatas rumahnya. Dengan panik ia segera berlari keluar rumah. Rasa lega merayapinya ketika kemeja itu sudah berada dalam genggaman tangannya. Ia membenamkan kepalanya dalam kelembutan kain tersebut. Menghirup dalam-dalam wangi pelembut pakaiannya, perasaan sedih terlukis di wajahnya ketika ia tidak berhasil menemukan wangi parfum pria itu, dengan lesu digantungnya kembali kemeja tersebut di jemuran.

"Eh? Tu Ami? Lagi ngapain? Kok masih di rumah?"

Sapaan tersebut membuatnya mengangkat kepala, pandangannya tertuju pada sesosok wanita paruh baya di seberang tembok. Tetangganya.

Ia menghembuskan nafas dengan lesu. "Lagi jemur baju." Sahutnya.

Wanita itu berjalan lebih dekat hingga bersandar di tembok pembatas. Senyuman yang sangat lebar terlukis jelas di wajah wanita itu.

A Rose for an Acre (SUDAH TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang