Chapter 4 - His Tenth Bouquet

118 16 0
                                    

Up date : 16th August 2018

********
Cerita sebelumnya......
Perasaan tumbuh di dalam hati Ami karena sikap Miles padanya. Tanpa diminta pria itu menariknya dari dua hal yang paling ia takuti, pikirannya yang selalu takut akan masa depan yang tidak bisa dipresiksi, dan trauma masa lalunya ketika ia dilecehkan oleh anak tetangganya dulu. Perasaannya campur aduk ketika Miles mengajaknya ke sebuah restoran untuk kencan romantis. Mulanya, ia berpikir Miles mengajaknya untuk survei lokasi, tapi laki-laki itu malah melamarnya?!

*********

Ia memutar tubuhnya ke kiri, membuat cermin memantulkan bagian kanan tubuhnya, ia mendapati lengan bajunya tampak panjang sebelah meskipun hanya beberapa mili. Desahan panjang memenuhi ruangan itu ketika dirapikannya kejanggalan tersebut. Tatapannya kembali terpaku pada sosok yang terpantul di cermin. Sosok dengan rambut yang menurutnya perlu dirapikan. Dengan jemarinya, ia menyapu setiap helai rambut, membawa rambut itu ke belakang, kemudian ke samping. Rasa bingung menggelayutinya ketika harus menetapkan gaya rambut seperti apa yang cocok bagi dirinya. Ia berdehem sembari berkacak pinggang ketika menyadari seseorang memasuki ruangan ganti dengan cermin besar tersebut.

"Pose yang gimana saja, tuan tetap tampan." Ucap sosok yang selalu mengekornya kemana pun ia pergi, Edward.

Mendengar pujian pria yang berumur hampir setengah abad tersebut membuat senyuman puas terlukis di wajahnya. "Semua sudah siap?" Tanyanya.

Tanpa menjawab, Edward menyerahkan beberapa tumpukan berkas yang langsung diterimanya.

Ia mendudukan dirinya di salah satu sofa, sembari melonggarkan kerah baju yang sudah dirapikannya tadi, satu-persatu berkas tersebut dibacanya dengan seksama.

"Tuan, disaat seperti ini tuan bekerja?" Edward mendesah. "Bagaimana kalau Nona Heo tahu?"

Senyuman tersungging menggantikan ekspresi serius yang daritadi menopengi wajahnya. Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Ssttt. Makanya kamu jaga disana." Ditunjuknya pintu keluar dari ruangan tersebut.

Dengan langkah berat, Edward pergi meninggalkannya. Ia menghembuskan nafas lega setelah pintu ditutup. Dengan hati-hati, ia kembali memusatkan perhatiannya pada berkas-berkas tersebut. Matanya bergerak mengikuti setiap kalimat yang terketik pada berkas, selesai dengan satu berkas, ia melanjutkan dengan berkas berikutnya. Hingga semua sudah lolos pemeriksaannya. Semua baik-baik aja. Batinnya.

Semua sudah sesuai rencana.

Dirinya sadar betul bahwa dalam hidup selalu ada dua kemungkinan, atau lebih, yang akan terjadi, sesuatu yang tidak bisa diprediksi olehnya. Tapi jika berusaha, ia tidak akan membiarkan kemungkinan lain selain kemungkinan terbaik untuk terjadi.

Terbayang kembali dalam benaknya kejadian kemarin di gunung.

Setidaknya ... semua sudah berjalan dengan baik 'kan?

***

" ... Ni Luh Putu Utami Heory, aku ingin kamu menjadi istriku."

Kalimat itu sudah diucapkannya dengan tegas dan jelas, entah kenapa reaksi yang didapat tidak sesuai ekspektasinya. Biasanya seseorang akan berkaca-kaca bahagia, menangis terharu, atau langsung memeluknya, jika ia mengatakan sesuatu seperti itu, tapi gadis dihadapannya ini, malah jatuh pingsan. Ia heran, kenapa rencana yang sudah disusunnya dengan baik selalu kacau jika berhubungan dengan gadis ini? Awalnya ia ingin menaruh cincin itu di dalam sup, tapi Ami tidak memesan sup. Ia berpikir mungkin pelayan itu bisa berimprovisasi dengan menaruh cincin di dalam teh, tapi ... nasi. Ia tidak menyangka.

A Rose for an Acre (SUDAH TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang