Chapter 17 - Her Trauma

156 14 0
                                    

Up date : 30th September 2018

**********
Cerita sebelumnya......

Dalam pengaruh alkohol, untuk pertama kalinya Miles menyentuh Ami atas dasar berbagai pertimbangan yang muncul karena ide dari Parco Jacobs. Miles harus punya anak, agar tidak perlu terus bergantung pada Ami yang membuat posisi Miles dalam bahaya.

Meskipun mulanya Miles masih enggan, tapi Ami 'memaksa' hingga mau tidak mau malam itu terjadi.

Keesokan paginya, lubang dan berbagai luka di tubuh Miles membuat dia menyangka kalau Ami kerasukan hingga Miles harus memanggil Ferdinand, yang malah merujuk Miles kepada seorang psikiater.

Di hadapan psikiater itu, Ami hendak mengatakan sesuatu...

*********

Mereka bilang setelah menikah, kita tidak boleh saling menyimpan rahasia satu sama lain. Sebisa mungkin semuanya harus diceritakan karena, yang dulu hanya miliknya seorang, juga akan menjadi milik suaminya.

Selama ini, ia selalu mencari kesempatan untuk menceritakan kejadian yang paling tidak ingin ia ceritakan. Ingatan terburuk itu, selalu berusaha memaksa keluar, menunggu di ujung lidahnya, tapi selalu terhenti oleh waktu yang tidak pernah memberinya kesempatan.

Sekarang, waktu sudah memberinya kesempatan. Setelah malam yang membuatnya merasa ingin meminta maaf berkali-kali pada Miles. Mereka benar ketika mengatakan jangan menyimpan rahasia karena akibatnya, semua akan menjadi rumit. Miles mengira dirinya kerasukan. Apa selama ini, pandangan Miles terhadap dirinya memang begitu?

Sekarang, sebelum semuanya menjadi benang yang kusut, ia akan menceritakan sesuatu yang selalu ada di ujung lidahnya.

"Sebenarnya aku ...." Ia menghela nafas, berusaha mengatur debar jantungnya ketika memanggil ingatan atas kejadian terburuk yang pernah menimpanya.

Dadanya terasa sesak, cukup terlambat bagi pikirannya untuk mencegahnya berbicara.

Sesuatu terlintas dalam benaknya.

Setelah ia bercerita, apa yang akan dipikirkan Miles tentang dirinya?

Apa dia bakal jijik?

Tapi semuanya sudah terlambat, karena kata-kata itu kini meluncur bagaikan waktu yang terus bergulir.

"Semuanya terjadi seminggu sebelum pertemuan pertama kita ...." Ucapnya, memulai cerita yang selama ini ia pendam. Senyuman tipis menghiasi wajahnya ketika mengingat pertemuan pertamanya dengan Miles.

Senyuman yang dengan cepat dihapuskan oleh kejadian sebelum itu yang saat ini sedang bersusah-payah ia suarakan.

***

Hari itu, semuanya berjalan seperti biasa. Ia baru lulus kuliah, dan sudah semestinya mencari pekerjaan mengisi setiap sudut otaknya. Tangannya masih belum kaku ketika menggoreskan data tentang dirinya di atas selembar kertas. Berlembar-lembar kertas dengan isi yang sama.

Saat itu pikirannya hanya fokus untuk mencari pekerjaan, dan meringankan beban ayahnya. Ia sudah menunggu saat-saat seperti ini, saat dimana dirinya bisa berguna untuk orang tua tunggal yang sudah membesarkannya dengan susah payah.

Tapi, orang tua tunggalnya cukup sulit untuk dipuaskan, ayahnya selalu berkomentar sama setiap selesai membaca CV-nya.

" ... Kamu melamar jadi sales? Juga ada marketing, karyawan toko, pegawai bank, terus ... di pabrik makanan? Random banget, Tu. Sekarang aja kamu udah kerja di restauran di samping pantai itu. Bapak pikir kamu berhenti karena apa, tapi karena pengen nyari kerjaan random lagi? Kamu nggak punya passion apa gitu? Sesuatu yang benar-benar kamu sukai?"

A Rose for an Acre (SUDAH TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang