Chapter 14 - His Resolution

108 16 3
                                    

Update :

***********
Cerita sebelumnya......

Ami mengeluarkan setiap uneg-uneg yang selama ini dia pendam ketika berada di studio teman Miles. Dari semua itu, Ami sadar bahwa ia tidak bisa membenci Miles, seperti dia yang tidak bisa membenci ibunya yang pergi meninggalkannya. Dan menyukai sedikit hal dari Miles terasa jauh lebih baik dibanding membenci.

***********

Dengan selembar handuk ia menghapuskan jejak-jejak dingin butiran air dari setiap helai rambut coklat gelapnya yang mulai memanjang. Ia tahu karena dirinya selalu memperhatikan dengan seksama pantulan di atas permukaan cermin datar di hadapannya. Fakta bahwa dirinya masih tetap terlihat tampan meskipun dengan rambut gondrong mengembangkan senyumnya.

Kini tatapannya tertuju pada sebuah gelas dengan cairan berwarna merah pekat yang juga ikut terpantul bersama bayangan dirinya. Jemarinya yang lentik meraih gelas tersebut dari atas meja, sambil membuat gestur bersulang dengan pantulan dirinya sendiri, ia meneguk segelas anggur tersebut dengan elegan.

Ya, hari ini memang patut untuk dirayakan. Dengan champagne seharusnya, tapi minuman jenis itu entah bagaimana sudah habis sebelum hari ini tiba. Tapi cairan pekat berwarna merah itu, tidak akan memadamkan semangatnya untuk merayakan hari ini.

Hari dimana ia berhasil menciptakan senyum di wajah orang terpenting dalam hidupnya. Eerr ... penting. Wajar Heo penting, dia istriku 'kan? Anyway. Rencana untuk menunjukkan rasa terima kasihnya pada Ami sudah berhasil. Terbukti dari senyuman di wajah gadis itu, termasuk kebahagiaan yang terpancar dari sepasang mata Ami, hingga suara nyanyian yang terdengar riang dari dalam kamar mandi.

Ia tersenyum kecil sembari mendudukan diri diatas sudut ranjang. Sepuluh tangkai bunga mawar itu, mengantarkannya pada sesuatu yang tidak pernah ia alami. Suatu masa dimana sisi ranjang miliknya yang selalu kosong akan ditempati, dan ketika kamar mandi pribadinya dikuasai oleh orang selain dirinya. Sebelumnya, membayangkan semua itu selalu membuatnya bergidik. Berbagai pertanyaan selalu muncul dalam benaknya. Gimana kalau dia nggak nyiram toilet dengan benar? Gimana kalau dia nggak nutup botol shamponya dengan rapat? Berbagai pertanyaan itu hampir membuatnya gila. Tapi ternyata, semua itu tidak terjadi. Ia bersyukur memilih Ami sebagai pasangan hidupnya, karena ternyata gadis itu sangat bersih dan apik.

Hidup dan keluarganya sudah cukup berantakan, ia tidak ingin jika benda-benda di sekitarnya juga ikut berantakan.

Dan entah kenapa, belakangan ini, meskipun Ami salah meletakkan botol shampo, ia tidak merasa stres seperti dulu ketika pelayan yang membersihkan kamar mandinya salah menempatkan kotak sabun. Seakan Ami transparan di matanya untuk setiap kesalahan yang dilakukan gadis itu. Huh, kesalahan kecil mereka bilang.

Ketukan di pintu membawanya keluar dari lamunan. Hanya dari ketukan yang khas, ia tahu siapa orang diluar pintu tersebut. "Masuk, Ed." Ucapnya sembari menutup majalah yang daritadi dilihatnya sambil lalu.

"Tuan ..." Ia bisa membaca ekspresi Edward yang penuh arti sebelum pria itu mengucapkan sesuatu.

"Aman. Heo lagi di kamar mandi. Do you have it?"

Edward mengangguk seraya menyerahkan sesuatu padanya. Sebuah alat perekam berukuran kecil, yang cukup dalam genggaman tangannya.

"Apa nyonya sudah cerita tentang kejadian di pesta?" Tanya Edward tiba-tiba.

Ia menggeleng. "Aku udah nanyak tapi dia nggak mau cerita." Sahutnya. Ditatapnya Edward dalam-dalam sembari melipat tangan. "You seem to know something 'eh? Spit it out, Ed."

A Rose for an Acre (SUDAH TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang