2. Perkenalan

3.2K 213 27
                                    

Arda bekerja pada salah satu perusahaan besar yang bergerak di bidang konstruksi, namun jabatannya hanyalah karyawan biasa, tak terlalu istimewa namun cukup untuk menghidupi dirinya sendiri. Tak seperti teman kecilnya yang menikah kemarin, Arda hanya anak dari seorang pensiunan yang hidup serba pas-pasan. Sejak kecil ia terbiasa hidup sederhana dan apa adanya, namun ketika ia masih bersekolah pada tingkat SMA, ayahnya harus meninggalkannya lebih dulu, yang membuat kehidupannya sedikit berantakan. Namun beruntung ia masih memiliki seorang ibu tangguh, yang akhirnya mampu membuatnya lebih baik lagi hingga mampu menjalani kehidupan seperti saat ini.

"Ehem, gimana? Sukses gak?" Sebuah pesan membuyarkan lamunan tentang masa kecilnya dulu. Arda paham apa yang ditanyakan Dimas pada pesannya itu.

"Belum, Dim, tapi tadi pagi sih dia mau ngehubungin gua kayaknya, tapi gak ke angkat." Arda membalas pesan Dimas dengan raut wajah kecewa, mengingat tadi pagi ia tak sempat mengangkat panggilan telefon dari wanita yang dikaguminya, alhasil saat ini nomor wanita itu kembali susah untuk dihubungi.

"Ya udah, bro, jangan nyerah, dia cewek baik-baik kok, cuma emang rada tertutup aja." Pesan Dimas kali ini sedikit memberinya semangat untuk terus berusaha, tapi ada rasa penasaran yang ingin Arda tanyakan pada sahabatnya itu.

"Dim, lo tau gak kenapa dia bisa tertutup kayak gitu?" Pada akhirnya Arda memberanikan diri untuk bertanya hal itu pada sahabatnya dan berharap semoga ia mendapatkan informasi penting tenteng gadis pujaannya. Agar ia bisa segera menentukan langkah pendekatan.

"Mmhh, gimana ya? Gua gak enak nyeritainnya." Jawaban Dimas membuat Arda bertambah penasaran, "Sebenarnya kenapa dan ada apa dengan gadis itu?" Gumamnya dalam hati.

"Tenang, Dim, gua bisa jaga rahasia kok." Arda masih berusaha meyakinkan Dimas untuk menceritakan tentang gadis itu padanya.

"Sori, Ar, gua gak bisa, itu masalah pribadi dia, dan bisa dibilang itu aib, mungkin lo tanyain aja sama dia nanti, kalau lo udah kenal deket, gua yakin, nanti lo pasti ngerti." Membaca pesan balasan dari sahabatnya itu, Arda harus menahan kecewa, namun ia sadar kalau ia tak bisa memaksa Dimas untuk menceritakan semuanya.

"Ok, Dim, makasih banget buat infonya." Pesan itu mengakhiri pembicaraan melalui pesan mereka berdua, namun ternyata Dimas masih membalas pesannya itu.

"Ok, kalau lo mau serius sama dia, dia cewek yang tepat, dia baik, jangan di sia-siain." Arda tak membalas pesan terakhir dari sahabatnya itu, ia masih terduduk melamun di ruang kerjanya, membayangkan kecantikan dan kemisteriusan gadis pujaannya.

Waktu telah menunjukkan pukul lebih dari pukul tujuh malam, Arda telah sampai di rumahnya dengan begitu lelah. pekerjaannya hari ini cukup menguras tenaga. Belum sempat ia membersihkan diri namun ia telah lebih dulu terbaring di kasurnya seraya menggenggam ponsel pada tangan kanannya. Ia asik menatap sebuah nomor dari gadis pujaan yang terasa begitu menggoda untuk bermalas-malas ria. Ada keraguan untuk menghubunginya lagi hingga butuh waktu sampai beberapa saat untuk Arda menulis pesan lalu mengirimkannya pada nomor itu.

Jantungnya berdetak kencang, menunggu sesuatu yang tak pasti, apakah gadis itu membalasnya atau tidak, atau jangan-jangan pesan itu tak sedikitpun berniat dibalas olehnya.

Cukup lama Arda menunggu, beberapa kali ia melihat ke layar ponsel hanya untuk memastikan bahwa tak ada pesan masuk yang terlewat, namun hasilnya tetap sama, karena tak ada satu pesan baru pun yang masuk. Dalam menu kotak pesannya, semua masih dalam posisi yang sama.

Di seberang sana, seorang gadis yang telah lama kehilangan senyumnya itu sedang menatap layar ponsel miliknya. Ia melihat sebuah pesan masuk dari nomor yang sejak kemarin berusaha menghubunginya. Tak ada niat untuk membalas pesan tersebut, begitu banyak keraguan dalam hatinya terhadap seorang laki-laki. Ya ia tahu bahwa yang berusaha menghubunginya adalah seorang laki-laki karena dari pesan itu, ia memperkenalkan dirinya.

Namun seketika saja ia menuliskan sebuah pesan pada layar ponselnya yang sayangnya harus ia kirim untuk sahabatnya, bukan untuk membalas pesan laki-laki itu.

"Hhhmmmm, lo ada di rumah gak?"

Cukup lama ia menunggu balasan dari sahabatnya, namun ternyata yang di tunggu membalas pesan itu setelah hampir setengah jam berlalu.

"Sori baru bales, ada kok? Emang kenapa?"

Ada keraguan pada dirinya untuk meminta bantuan sahabatnya, ia merasa terlalu sering merepotkan orang lain hanya untuk sekadar meminta bantuan mengusir sepi.

"Gua boleh nginep di rumah lo gak?"

Kali ini tak butuh waktu lama sampai sahabatnya membalas pesan darinya.

"Ya boleh lah, ya udah, lo kesini aja sekarang, ya."

Dengan memesan jasa ojek online, ia pun pergi menuju ke rumah sahabatnya yang tak jauh dari rumahnya. Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuknya sampai ke sana.

"Makasih, bang." Setelah sampai di depan rumah sahabatnya, ia langsung masuk ke halaman rumah yang sederhana itu, namun pengendara ojek online itu memperhatikannya dari jauh, dan setelah memastikan penumpangnya sampai tujuan, setelah itu ia pun pergi.

Dipencet nya bell yang berada di samping pintu rumah. Sekali masih belum ada yang membukakannya pintu. Usaha yang kedua pun sama. Ia harus menunggu beberapa menit hingga akhirnya nampak lah dihadapannya orang yang tak asing lagi baginya.

"Eh kamu, tante kira siapa malam-malam bertamu ke rumah."

"Ya tante, maaf aku ganggu." Ada perasaan sungkan ketika yang menyambutnya adalah ibu dari sahabatnya, walaupun sebenarnya mereka sudah saling mengenal satu sama lain.

"Masuk, yuk." Tante Diana mengajaknya masuk, ia sudah tahu dari anaknya kalau malam ini akan ada yang menginap di rumahnya.

"Ta, ini Aini udah dateng." Tante Diana langsung menyuruh Aini masuk ke kamar anaknya tanpa sungkan. Ia sudah begitu mengenalnya, bahkan mungkin telah menganggapnya lebih dari sekadar teman untuk anaknya.

"Kamu masuk aja ya." Ucap tante dengan tersenyum ramah.

"Makasih tante." Aini langsung menuju ke kamar Anita, namun belum sampai ia mengetuk pintu kamarnya, Anita telah membukakan pintu lebih dulu.

"Hei." Aini langsung memeluk sahabatnya yang dibalas juga dengan pelukan oleh sahabat terbaiknya.

Mereka saling bertatapan tanpa bicara sedikit pun, hanya seulas senyum getir yang tergambar di wajah, namun itu saja sudah cukup membuat mereka saling memahami apa yang mereka rasakan saat ini.

Hai...

Ceritaku yang apa adanya hadir lagi...

Jangan lupa, setelah selesai baca, kasih vote, komen, kritik dan sarannya ya...

Tanpa kalian, cerita ini gak ada artinya...

Terimakasih...🙏😊

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang