26. Tak Mudah.

1.3K 81 14
                                    

Aini telah mampu berdiri tegak, menatap ke dua sahabatnya yang kini mundur perlahan, menjauh dari apa yang kini mereka lihat. Naluri mengatakan bahwa keadaan memburuk, namun hati bisa memungkiri bahwa Aini adalah seorang sahabat sejati.

"Aaaaahhhh."

Vika menjerit, sesuatu yang buruk telah melukai Anita yang kini tersungkur di atas tanah berbalut dedaunan kering. Ia berhenti menyerang, dan sesaat kemudian lebih memilih pergi dari pandangan. Vika menghampiri untuk segera menolong Anita. Luka pada salah satu lengannya cukup mengeluarkan banyak darah, namun kemudian deru suara mulai mendekat, membelah rimbunnya semak secara brutal. Suara berisik yang semakin jelas mendekat itu membuat Vika dan Anita menyembunyikan diri.

"Aneh, suaranya dari tadi ada di sekitar sini."

Vika tercekat, suara itu begitu ia kenal, suara yang telah mengikat janji suci dengannya kini telah kembali bagai pahlawan yang akan menyelamatkan hidup mereka berdua.

"Dimas."

Dimas menoleh ke arah di mana suara itu berasal, sangat yakin bahwa itu adalah suara dari istrinya. Dugaannya tepat, Vika berdiri dengan memapah Anita yang terluka, luka itu masih mengeluarkan darah segar dan mulai menimbulkan rasa perih yang teramat sangat. Menyadari bahwa Anita dalam keadaan terluka, Dimas meminta orang-orang yang menolongnya itu untuk seger mengobatinya.

Dalam ruangan yang berada di tengah hutan, masih samar terdengar suara benturan dari pertarungan antara Danu yang masih menghadapi Respati serta Arda. Dinding berlumut dalam ruangan tersebut kini berwarna hitam bercampur oleh darah dari ke tiga orang yang masih bertarung menentukan nasib mereka sendiri. Rupanya, itu menjadi benturan penjeda sebelum akhirnya mereka terkapar. Arda berada di sudut dinding setelah sebelumnya Danu berhasil melemparnya hinga membentur dinding yang menimbulkan suara berisik. Sementara respati, terkapar dengan kondisi lebih parah. Kondisi Danu sendiri tak lebih baik dari mereka berdua, luka lebam tersamarkan oleh darah hitam yang keluar dari luka beberapa sayatan di sekujur tubuh.

"Hahahahaha."

Danu tertawa, ia mulai kembali bangkit dengan tenaga tersisa yang mungkin saja akan menjadi tenaga terakhirnya. Ia menyeringai menunjukkan rasa puas akan pertarungan yang saat ini akan berakhir. Ini lah yang tak dimiliki oleh Arda yang tak menjadikannya memiliki kekuatan seperti apa yang Danu miliki saat ini, yaitu pantang menyerah dan rasa percaya diri tinggi.

Di tempat lain, untuk sesaat telah terjadi perdebatan kecil di antara mereka.

"Kalian harus ikut ke desa, biar kalian tunggu di sana, urusan Aini biar gua yang cari."

Anita dengan keras menolak, ia tetap memaksa akan ikut mencari, ia tahu betul kondisi Aini saat ini, dan ketika mereka menghadapi kondisi yang sama dengan yang dialaminya sebelumnya, bukan tak mungkin mereka akan mengambil jalan terakhir yang paling tak ia inginkan, yaitu membunuhnya.

"Gak bisa, gua harus tetep ikut."

Berada diantara suami dan sahabatnya, Vika menengahi dan memberi solusi.

"Dim, gak apa-apa, kita tetep harus ikut."

Genggaman tangan Vika pada Dimas membuatnya luluh, ia sadar tak bisa menolak keinginan mereka.

Kembali pada pertarungan terakhir Danu. Sebilah pisau kecil yang sering bermandikan darah para korbannya kini telah siap berada dalam genggaman, bersama seringai kejam telah siap untuk memutus urat leher lawan. Mata di hadapannya tak pernah berhenti membenci, bahkan untuk sesaat sebelum kematiannya sendiri. Tubuhnya bergetar hebat, sang malaikat telah tuntas menjemput dengan begitu cepat, kini, tinggal tersisa seorang renta yang tak lama lagi akan menemui ajalnya. Berbeda dari sebelumnya, mata itu sama sekali tak menunjukkan kebencian, di balik wajah tuanya tersirat sebuah rasa menerima kekalahan, dan ia masih tetap bisa tersenyum, meremehkan.

Seringai itu kembali, dalam kegelapan yang sama, menanti seseorang yang telah lama ia cari, dan tak lama setelah itu, harapannya terjadi. Tatapan kosong, lingkar hitam di sekitar mata menunjukkan bahwa ia kini tak berbeda. Danu mulai melangkahkan kaki, setapak demi setapak ia telusuri dengan kenikmatan karena telah memetik sebuah kemenangan, tanpa ia sadari yang menjadi tujuannya saat ini tengah menyeringai kejam. Iblis yang ia puja telah merenggut semuanya, dan Danu telah terlambat menyadari bahwa kini ia akan menghadapi sesuatu yang lebih dari sekadar kegelapan dalam hati. Sosok itu menghampiri, ia tersenyum, begitu pun Danu, jarak mereka berdua kian dekat seiring beberapa langkah terlewat, hingga pada akhirnya seringai Danu menghilang seiring menghujamnya sebuah tikaman.

Dimas, Vika Anita serta para penduduk desa yang sejak tadi bergerak, kini mulai mendekat pada sebuah bangunan tua yang berada di tengah hutan. Tak ada lagi suara-suara di sana, semua telah selesai dan pertarungan telah usai namun Danu belumlah jadi pemenang. Langkah mereka terhenti, mereka merasa ada sesuatu di sana selain mayat-mayat yang samar terlihat bergeletakan begitu saja. Benar dugaan mereka, sesuatu terlempar dari pintu keluar bangunan itu hingga beberapa meter jauhnya. Detak jantung mulai berpaju melihat pemandangan di hadapan mereka saat ini, Danu terkapar, darah hitamnya berselimut debu tanah serta dedaunan kering yang lama tak terjamah oleh darah. Ia menggeliat, memberi tanda bahwa ia masih di dunia walau kini sedang tak baik-baik saja.

Dimas memberi kode, menahan pergerakan yang lainnya untuk tak mendekat ke arah orang yang baru saja terkapar, dan setelahnya ia memberi instruksi agar mereka semua merunduk menutupi diri mereka dengan semak-semak atau batang pohon,l. Dimas merasa yakin bahwa sesuatu yang mampu melemparkan orang tersebut bukanlah sesuatu yang baik.

Sesosok manusia telah berjalan keluar dari pintu, tampak begitu senang, terlihat samar dari raut wajahnya yang selalu nampak tersenyum kejam.

Anita menahan emosi yang mulai bergejolak, ia tak kuasa melihat sahabatnya telah berubah, bahkan tak mengingat dirinya lagi, hingga sempat melukai. Vika berusaha untuk menenangkan Anita dengan memeluknya, sehingga suara tangisnya bisa teredam dan tak membahayakan posisi mereka saat ini.

Aini berdiri tepat di hadapan Danu yang tak berdaya, tenaganya telah habis dalam pertarungan sebelumnya melawan Respati dan Arda. Danu masih sadar, hanya saja ia tak sanggup melakukan apa-apa, ia tak berdaya dan mungkin sekejap kemudian tak bernyawa. Pandangan matanya mulai buram di tengah kegelapan, luka di sekujur tubuh membuatnya mati rasa akibat dari kehilangan banyak darah. Tapi kemudian Danu sanggup untuk kembali berdiri, namun sayang bukan pada kedua kakinya sendiri, lengan kecil tak berotot wanita di hadapannya itu dengan kuat mencengkeram leher Danu, hingga ia terpaksa meronta dengan sisa tenaga demi asupan oksigen yang kini tengah tergahan, sayang usahanya kembali menemui kegagalan. Perlawanannya mulai hilang, telah pasrah dengan keadaan.

"Apa ini jalan terakhir gua? Apa ini benar-benar jalan yang udah gua pilih? Kayaknya ya, dan merubah pilihan saat kayak gini, gua rasa bukan sesuatu yang bagus."

Senyum perlahan mulai tersungging untuk yang terakhir kalinya, senyum yang begitu berbeda dari sebelumnya yang menandakan bahwa ia telah menyerah.

"Maaf..."

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang