22. Dua Pilar

1.6K 93 18
                                    

"Pergilah ke arah selatan, waktumu takkan lama."

Setelah mengatakan itu, pahlawan itu langsung pergi tanpa permisi, bayangannya langsung hilang dibalik rimbunnya hutan serta kegelapan.

Rasa takut dibalik kegelapan untuk saat ini tak Dimas hiraukan, ia lebih takut kehilangan istri serta sahabat-sahabatnya yang ia yakini kini sedang tak baik-baik saja, namun ternyata saat ini yang harus ia khawatirkan adalah keberadaan dirinya sendiri.

"Selatan? Gua harus kemana?"

Dimas menatap sekeliling tempatnya bernaung saat ini dan akhirnya dia menemukan kegelapan yang sama pada setiap sisi tanpa menemukan arah selatan yang ia cari. Dimas kembali masuk ke dalam gubuk kecil milik dari pahlawan yang telah pergi meninggalkannya seorang diri. Rasa lapar tetap memaksanya untuk makan dengan lahap tanpa peduli dengan apa yang ia makan, baginya yang terpenting kini lidahnya masih bisa membedakan rasa gurih dan asin.

Ruang gelap akan menjadi saksi dari keabadian atas perjanjian pada puncak ritual malam itu, semua rencana tersusun dengan begitu matang walau memang sebagian berjalan harus bermandikan darah, darah dari para kerikil tak berharga yang telah direkrut bermodalkan dusta, buaian hidup di dunia layaknya surga menjadi senjata ampuh untuk menipu akal sehat serta logika hingga mereka tunduk tanpa berpikir bahwa semua yang akan mereka lakukan itu sia-sia, namun ketika menyadari hal itu beberapa dari mereka terlanjur terjerumus pada lembah sengsara. Tak ada jalan kembali di sana, kecuali mereka membuat jalannya sendiri.

Tudung itu tak hanya ia siapkan untuk melindungi diri dari dingin serta hewan-hewan malam penghisap darah, namun alasan utamanya adalah untuk saat ini serta seterusnya, ia akan bersembunyi menutupi kebenaran.

Di balik semak belukar yang selalu menjadi tempat favorit untuk mengintai bagi para pemburu atau pemangsa, ia masih mengamati jumlah anggota-anggota aliran sesat tersebut, perlahan tapi pasti jumlah itu selalu menurun namun beberapa saat kemudian ketika malam kembali menjelang jumlah mereka semakin bertambah, dengan waspada melindungi apa yang tak seharusnya mereka bela.

Pemangsa itu masih terdiam, setelah membunuh dua orang sebelumnya lalu pergi untuk memastikan sesuatu, saat ini ia masih tak melakukan pergerakan apapun terlebih ketika jumlah mereka semakin bertambah pada tempat yang sedang ia intai, walau bagaimanapun ia akan tetap memiliki kemungkinan kalah kalau harus menghadapi mereka semua secara langsung. Ia belum mengetahui tentang kekuatan atau kemampuan mereka walaupun bisa saja ia berasumsi bahwa mereka hanya orang-orang lemah, kesimpulan berdasarkan dari orang-orang yang telah ia bunuh sebelumnya.

Danu tersenyum, lalu perlahan menyeringai. Ia telah menemukan ide agar bisa menghancurkan rencana mereka.

Perlahan Danu bangkit lalu melangkah pasti mendekati mereka, sontak mereka semua kaget melihat seseorang keluar dari kegelapan dengan santai dan tenang berjalan menghampiri, beberapa dari mereka bersiap dengan waspada.

"Tenang, aku menyerah, aku takkan membunuh kalian semua." ucapnya masih dengan percaya diri.

"Setidaknya untuk saat ini." lanjutnya dalam hati.

Melihat sosok Danu yang kian mendekat, beberapa dari mereka justru bingung dengan apa yang harus mereka lakukan, itu karena mereka tak tau sosok yang berada di depan mereka adalah orang yang diperintahkan untuk di bunuh oleh ketua mereka. Mereka semua benar-benar anggota baru yang tak tau apa-apa, bahkan tak ada salah satu dari mereka pun yang terlibat dalam kasus pencukikan Danu sebelumnya.

"Tangkap dia!"

Tak di sangka, Arda telah berdiri di ambang pintu utama lalu memerintahkan para pengikutnya untuk mennangkap Danu, tanpa perlawanan ia pun dengan suka rela diikat lalu dibawa oleh mereka menuju salah satu ruangan masih dalam gedung yang sama.

Setelah ada dalam ruangan, para pengikut itu meninggalkan Arda dengan Danu.

"Ternyata, pecundang kayak loe masih berani buat muncul didepan gua?"

Danu tersenyum sinis meremehkan Arda, namun ia tak membalas, untuk sesaat lebih memilih terdiam.

"Gak salah? Gua lebih gunain otak dari pada orang tolol kayak loe yang cuma bisa ngandelin otot."

Danu tertawa bahkan hingga menggema menembus ruangan yang mengurung mereka berdua.

"Kita lihat, siapa yang akan mati."

Tanpa menanggapi lagi ucapan Danu, Arda langsung meninggalkan tempat itu. Namun tepat beberapa langkah Arda meninggalkan ruangan itu, ia tiba-tiba saja berhenti mematung, dinginnya besi berkilau yang menyentuh kulit lehernya membuat seluruh tubuhnya kaku.

"Loe lihat, kan? Kematian begitu deket banget sama loe, kalau loe gerak sedikit aja, gua pastiin lantai ini bakal penuh sama darah busuk loe."

Danu menyeringai, tali yang membelenggunya dengan kuat begitu mudah ia lepaskan.

Danu menggiring Arda menuju tempat dilakukannya ritual, kali ini Arda tak punya pilihan lain, keangkuhan itu kini telah terinjak hingga tak memberikan perlawanan sedikitpun.

Di dua tempat berbeda, dengan menggunakan peralatan seadaanya, dua orang perempuan yang menjadi tawanan masih berusaha keluar dari ruangan yang mengurung mereka, rasa khawatir pada sahabat yang tak berdaya membuat mereka tak memilih menyerah pasrah, pintu dari ruangan yang mengurung Anita akhirnya dapat terbuka, namun ia tak segera keluar, ia memperhatikan kondisi lorong ruangan dari ujung terlihat gelap, matanya samar mnyipit menangkap sosok dua orang berjalan menjauhi arah dari mana ia memandang, dua orang mengenakan jubah berbeda.

Tak ingin berlama-lama dan membuang waktu, Dimas akan segera melanjutkan perjalanan kembali, ia tak peduli dengan beberapa luka di kaki yang membuatnya sulit berjalan. Dimas mencari-cari sekeliling ruangan gubuk yang sedang ia tempati, bermaksud mencari sesuatu yang mungkin bisa ia bawa dan berguna ketika melanjutkan perjalanan, namun ia tak menemukan apapun kecuali fakta bahwa pahlawan yang menyelamatkannya dan menyuruhnya untuk segera mencari bantuan adalah orang yang ia kenal.

"Ini?"

Dimas menemukan serta mengamati benda yang beberapa kali pernah ia lihat sebelumnya, ia menemukan benda itu setelah mengacak-acak gubuk yang berukuran tak terlalu besar.

"Jadi bener, dia... Tapi gak mungkin."

Dimas masih tak mempercayai apa yang ia temukan, namun kenyataan bahwa orang tersebutlah yang menolongnya. Dimas berkemas seadanya karena memang tak ada sesuatu yang perlu dan bisa membantunya dalam perjalanan kecuali hanya fakta itu yang bisa menjadi motivasi baginya untuk segera mencari bantuan walau tanpa kejelasan jalan.

Tiba pada ruangan cukup besar, di sana terlihat beberapa orang berjubah hitam tengah berdiri menunggu orang terakhir yang baru saja datang bersama Danu yang tak mereka harapkan. Satu persatu mereka melepas tudung kepala yang menutupi kengerian dibaliknya, perlahan wajah-wajah pucat bagai mayat mulai terlihat, mereka berbaris

Mereka berbaris, dengan ekspresi datar, dingin seperti tak ada darah yang mengalir di tubuhnya, tak ada oksigen yang mengisi paru-parunya, dan tak ada arti dari semua tatapan kosongnya, mereka berbaris melingkar, melingkari seseorang yang sedang terkapar di tengah lingkaran yg mereka buat, yaitu altar pemujaan.

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang