23. Pecah

1.5K 88 5
                                    

Dalam ruangan berdinding dengan warna cat kusam di sebuah daerah yang jauh dari keramaian hiruk pikuk peradaban dunia, beberapa orang tengah terlihat datang tanpa berbincang. Tempat itu dipilih untuk menghindari aktifitas mereka dari pandangan orang-orang yang bisa saja dengan mudah menghancurkan perkumpulan mereka hanya dengan mengetuk palu kekuasaan. Mereka datang untuk menghadiri sebuah undangan penting, sebuah undangan untuk membahas kelanjutan misi besar kelompok mereka. Wajah datar serta pucat bagai mayat dan juga pandangan kosong itu menyembunyikan ambisi besar serta persekutuan mereka pada setan. Persekutuan yang seharusnya tak pernah dilakukan.

Pertemuan di buka dengan tak semestinya, tak ada ramah tamah di sana, pembicaraan langsung pada intinya saja, yaitu tentang memilih seseorang untuk menjalankan misi, yaitu misi untuk mencari darah terpilih dari seorang wanita yang memiliki tanda khusus sejak ia lahir.

Tampak di sana berdiri dua orang kandidat di samping ke dua orang tetua dalam kelompok itu. Merekalah dua orang pemuda calon pembawa misi yang disiapkan oleh tetua yang membawa mereka masing-masing.

"Apa kau yakin dengan orang yang telah kau siapkan?"

Orang yang lekat dengan panggilan Respati itu bertanya dengan meremehkan pemuda kurus yang di bawa oleh kakek tua yang juga tampak kurus.

"Apa kau ingin mencobanya? dan buktikan siapa yang terbaik diantara mereka?"

Respati melirik pemuda disampingnya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pemuda yang dibawanya akan mampu membuktikan kekuatannya melawan pemuda kurus itu.

"Baiklah, mari kita buktikan siapa yang paling tangguh diantara mereka."

Kakek tua itu melirik tajam menunjukkan rasa tak sukanya ketika di remehkan, namun sekilas kemudian ia tampak tersenyum sinis serta penuh percaya diri.

Pemuda yang berdiri disamping Respati itu maju, juga dengan penuh percaya diri serta rasa angkuh. Tempat pertemuan yang cukup luas memungkinkan mereka untuk bertarung satu lawan satu.

"Jangan bunuh dia, kendalikan diri!"

Pemuda kurus yang sejak tadi hanya diam berdiri disamping kakek tua itu pun maju untuk memenuhi tantangan pemuda yang menjadi saingannya dalam misi yang akan ia emban.

Badannya yang memang kurus tak sedikitpun membuat lawannya gentar, pun begitu juga yang dirasakan olehnya, ia maju dengan tenang tanpa sedikitpun menunjukkan kalau ia orang yang lemah, keberaniannya benar-benar patut untuk dibanggakan, namun dalam misi yang akan di emban kali ini, bermodalkan keberanian saja rasanya takkan cukup, selain harus mampu mengatur strategi mereka juga harus pandai berpura-pura menjadi orang baik dan mampu menempatkan diri dalam situasi apapun demi informasi tentang tujuan yang akan mereka kejar.

Perlahan wajah datarnya berubah tersenyum, lalu sesaat kemudian menyeringai. Nafsu membunuhnya mulai lepas tak terkendali. Yang di khawatirkan oleh kakek yang mengizinkannya bertarung adalah hal seperti ini, ia masih belum sepenuhnya mampu mengendalikan iblis yang ada dalam diri.

Danu menyerang lawannya dengan beringas seolah telah lama ia tak menemukan mangsa. Terakhir kali ia terlibat dalam pertarungan, musuhnya harus berakhir dalam bentuk yang tak sempurna. Arda yang terlanjur meremehkan, tak siap dengan apa yang menyerang. Ia tersentak dan seketika tersudut bahkan kalau saja Hamdani tak menghentikan keganasan Danu, Arda bisa dipastikan akan mati dengan leher terkoyak.

"Cukup!"

Wajah Danu kembali berubah, kali ini dengan rasa kecewa karena tak dapat mengeksekusi mangsanya. Seringai dari perangai yang hilang jelas mampu menekan nafsu membunuh yang sulit untuk dikendalikan. Cengkeraman tangan pada leher Arda perlahan ia lepaskan bersama dengan rasa kecewa yang ia bawa, namun sayangnya masih ada sedikit bekas tersisa di sana sebagai cinderamata agar tak lupa dengan rasa sakitnya.

"Apa masih perlu bukti?"

Hamdani melirik, memastikan bahwa Respati tak bisa lagi membantah atau mengajukan pilihan padanya. Pada akhirnya, Danu menjadi orang yang terpilih mengemban misi untuk mencari orang terpilih. Namun ia harus berada dalam karantina untuk melatih emosi yang masih sering tak terkendali. Hamdani menyanggupi, demi tercapainya semua ambisi. Bukan hanya untuk kelompok, tapi demi dirinya sendiri.

Arda bangkit, membawa serta kecewa serta tak terima dengan kekalahannya. Wibawanya merasa benar-benar harus jatuh pada titik terendah, membuat rasa angkuh itu semakin menjadi dan berubah menjadi dendam yang tak puas hanya dengan melihat Danu serta Hamdani kalah di suatu saat nanti.

"Kakek tua itu rupanya lebih milih dia."

Arda pergi membawa serta emosinya yang sejak tadi ia tahan. Ia tak berani untuk protes pada keputusan yang telah di buat pada perkumpulan tersebut, semua telah sepakat bahwa Danu lah yang akan mengemban Misi panjang serta menentukan nasib dari kelompok mereka.

Danu beserta Arda kembali berdiri di samping Ki Hamdani serta Ki Respati. Setelah itu, mereka semua membubarkan diri untuk bersembunyi selama misi sedang dijalankan.

Danu dan Ki Hamdani pergi terlebih dulu, kembali ke daerah pegunungan yang selama ini menyembunyikan keberadaan mereka. Sementara Ki Respati serta Arda harus kembali pada persembunyian mereka di tempat lain, sambil tetap mengawasi pergerakan Danu.

"Saat ini, belum waktunya kita bergerak, kita perlu menyusun kekuatan sendiri agar ketika mereka hancur, kita akan tetap mampu berdiri sendiri."

Rupanya, Respati pun masih tak menyukai Hamdani. Rasa iri dengan apa yang di capai oleh rivalnya membuat rasa benci itu kian mendengki.

***

Mereka menatap Arda dengan arti yang tak bisa di tebak. Sebagian menyadari apa yang berada di belakangnya namun tetap memilih untuk tenang agar tak terjadi sesuatu yang tak diinginkan, atau mungkin memang jiwa mereka telah mati dan hilang.

"Keluarlah, mari kita bicara."

Respati berencana untuk memulai negosiasi, ia tak ingin rencana besarnya harus kembali menemui kegagalan. Ini adalah harapan terakhirnya. Ya, pada akhirnya mereka pun masih memiliki harapan pada sesuatu, yang sayangnya harapan itu akan menemui hambatan dari masa lalu yang tak pernah sanggup mereka habisi. Alam beserta isinya memang membenci Danu, namun kesempatan untuk kembali akan tetap ada, sekalipun ia terlampau jauh tersesat.

Mata serta senyum menyeringai mulai menampakkan diri. Danu berbeda dengan anggota kelompok mereka sebelumnya. Ia cenderung tak bisa mengontrol emosi ketika mengira bahwa ia akan mendapatkan kesenangan. Untuk itu, wajahnya tak sekalipun benar-benar tanpa ekspresi.

Perlahan Danu menurunkan pisau yang menempel pada leher Arda, kemudian bergerak ke sampingnya untuk bersiap melakukan negosiasi.

"Apa untungnya buat gua?"

Arda melirik dengan tatapan tak suka, namun ia tetap tenang menjaga suasana terkendali selama negosiasi berlangsung.

"Apapun yang kau inginkan, kecuali... menjadi pemimpin."

Danu tertawa, ia sudah bisa menebak apa yang menjadi tujuan  Respati.

"Hahaha... Kalau gua mau posisi itu, loe mau apa?"

Rupanya negosiasi begitu cepat berlalu tanpa menghasilkan apapun, namun Danu sama sekali tak berniat untuk merubah pendirian menghabisi orang-orang yang telah mengkhianatinya. Dari yang sebelumnya mereka berdiri berbaris, kini semua bersiap mengepung Danu, namun senyum seringai itu tak sekalipun gentar menghadapinya.

"Maju, gua habisin kalian semua."

Sepertinya, Danu akan menikmati pertarungan terakhirnya. Sama halnya dengan seorang wanita yang sejak tadi telah tak sabar untuk melihat mereka saling membunuh.

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang