3. Bertemu

2.8K 199 28
                                    

Dalam satu kamar yang sama, mereka bercengkerama melepas semua beban yang ada di hati, hingga pada akhirnya Aini mulai bercerita. Hanya pada Anita lah ia mampu terbuka tentang semua hal yang terjadi padanya.

"Kemarin ada yang pengen nelepon gua, Ta." Aini membuka obrolan terakhirnya untuk malam ini, sebelum mereka terlelap dibalik selimut hangatnya.

"Terus?" Anita sumringah mendengar ucapan sahabatnya, sudah cukup lama baginya menyendiri. Ada harapan besar dibalik senyumnya, sebuah harapan kebahagian untuk sahabatnya.

"Gak gua angkat." Seketika senyumnya hilang bersama rasa kecewa mendengarkan ucapan selanjutnya.

"Kenapa gak diangkat?" Pertanyaan yang hanya sebuah basa-basi belaka, namun berharap jawaban yang mungkin diharapkannya.

Aini tersenyum seraya mengangkat bahunya, yang berarti bahwa tak ada jawaban pasti untuk pertanyaan Anita.

"Tapi dia ngirim pesan." Ucapan Aini kali ini memancing rasa sumringah di hati Anita. Aini menunjukkan pesan itu padanya.

"Terus lo bales gak?" Anita tak yakin bahwa yang akan dikatakan Aini tak akan terlalu membuatnya senang.

"Belum, gua bingung mau bales apa." Sesuai dugaan Anita, jawaban itu masih tak sesuai harapan.

******

"Sebegitu kelamnya kah masa lalunya? Sampai dia tertutup banget kaya gini?" Sikap gadis yang dipuja begitu membuatnya penasaran, namun ia harus menahan diri, ia masih ingat betul apa yang dikatakan Dimas, "ia adalah gadis baik-baik, jadi memang seharusnya mahal sekali harganya." gumamnya lagi dalam hati, seraya tersenyum menatap langit-langit kamar, seolah di sana tergambar jelas wajah cantik yang membuatnya mulai merasa gila.

"Maaf, kamu siapa?"

Kalimat sependek itu membuat sikap Arda seketika berubah. Binar matanya melotot tak percaya, senyumnya mengembang, ia begitu senang mendapat sebuah pesan yang sejak tadi ia tunggu.

"Maaf, aku Arda, apa aku boleh kenal sama kamu?" Arda berusaha menjaga sikap. Ia tak mau salah langkah dalam melakukan pendekatan. Tak mau hal kecil bisa merusak apa yang telah ia rencanakan.

"Apa aku tahu kamu?" Belum ada reaksi yang berarti dari gadis pujaannya itu. Dari balasan pesannya, Arda merasa bahwa ia masih belum mendapat lampu hijau dari gadis itu.

"Mungkin, tapi kita pernah ketemu." Arda berusaha dengan sabar menghadapi gadis yang dari cara ia membalas pesannya, terasa begitu dingin. "Benar-benar mahal." gumamnya seraya mengirim balasan pesan.

"Kapan?" Arda mulai tersenyum percaya diri, sepertinya ia sudah mulai bisa memancing gadis itu untuk mengobrol, karena ia sepertinya sudah mulai penasaran.

"Waktu di acaranya Dimas sama Vika." senyumnya semakin mengembang, rasa percaya dirinya semakin meninggi. Ia yakin akan bisa berkenalan dengan gadis pujaannya itu.

"Oh." Sayangnya sebuah balasan yang terlalu singkat itu membuat senyumnya hilang, berganti dengan rasa kecewa, karena ternyata berkenalan dengannya tak semudah apa yang dibayangkan.

"Shit, gua kira udah mau berhasil, sabar...sabar..." Walau pesan terakhir itu membuatnya mulai terpancing emosi namun ia berusaha keras meredam egonya.

"Terus, apa aku boleh kenal kamu?" Kembali Arda menanyakan maksud dan tujuannya menghubungi gadis itu, dan kali ini rasa kecewanya cukup dalam, gadis itu tak membalas pesannya.

Kembali yang menjadi sasaran rasa frustasinya adalah sebuah ponsel pintar yang harus rela dilempar ke sisi ranjang bagian lainnya.

Di tempat lain seorang gadis tersenyum. Ia tak lain adalah Anita yang sedang memegang sebuah ponsel milik Aini yang telah tertidur pulas disampingnya. Ia tersenyum sendiri ketika berkirim pesan dengan seorang laki-laki yang mengaku bernama Arda, entah apa tujuannya melakukan itu, namun semua itu ia lakukan demi sahabat baiknya.

*****

Setelah semalam tak bisa beristirahat hingga terlelap. Untuk hari ini Arda memutuskan untuk takkan pergi bekerja. Kepalanya terasa pusing setelah semalam suntuk ia terjaga menunggu balasan pesan dari seorang wanita yang mungkin saja sudah benar-benar membuatnya gila.

"Gua harus tabu rumahnya, biar gua samperin langsung." Dengan cepat Arda menyambar ponsel yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya, lalu kemudian mencari sebuah nomor dan setelah ketemu, disentuhnya tombol berwarna hijau berlambang telefon pada nomer tersebut.

Tttuuutttt...tttuuuutttt....

"Pasti belum bangun dia jam segini." gumamnya yang kemudian kembali menghubungi orang itu lagi.

Dan kali ini usahanya berhasil.

"Halo." Dengan bermalas-malasan suara di ujung ponselnya menjawab panggilan dari Arda.

"Sori, Dim gua ganggu, bisa minta tolong lo kirimin alamat Aini gak?" Dengan tak sabaran Arda langsung mengungkapkan apa maksud dan tujuannya menghubungi Dimas sepagi ini.

"Ya udah, gua kirim." Tanpa menunggu ucapan terimakasih dari Arda yang hampir diucapkannya, Dimas langsung menutup panggilan lebih dulu.

Sebuah pesan masuk, berisi alamat lengkap sebuah rumah, hingga kode pos dan bahkan negaranya pun Dimas cantumkan, hingga bagian benua nya tak lupa melengkapi akhir dari alamat lengkap yang dituliskannya. Arda tersenyum senang mendapatkan alamat itu, sekaligus lucu melihat alamat yang terlalu lengkap tertera pada layar ponsel yang masih ditatapnya.

"Ok, makasih Dim, sori ganggu."

Tanpa mempedulikan pesan balasan dari Dimas, Arda langsung bersiap-siap untuk pergi ke alamat rumah yang tadi Dimas berikan.

Setelah siap dengan sebuah kemeja yang sudah disemprot minyak wangi terlebih dulu, yang kemudian dibalut dengan jaket hitam yang stylish, serta celana jeans biru panjang dan yang terakhir sepatu kulit dengan kilap yang mengalahkan kilaunya cermin.

"Akhirnya kita akan ketemu lagi." Dengan senyum percaya diri yang tersungging di depan cermin menambah auranya sebagai seorang laki-laki rupawan.

Dengan motor sport 250cc nya dia melaju dengan cepat menembus padatnya lalu lintas kota. Rasa tak sabarnya membuatnya semakin cepat memacu kuda besinya itu. Di balik helm hitamnya ia selalu tersenyum membayangkan pertemuan pertamanya tersebut dengan seorang gadis yang bisa membuatnya jatuh cinta.

Hanya sekitar satu jam sampai akhirnya ia tiba pada sebuah rumah yang tampak sepi, seperti tak beraura. Rumah itu tak terlalu besar namun juga tak terlalu kecil. Arda terdiam namun matanya berkeliling memperhatikan detail rumah yang sesuai dengan alamat yang diberikan Dimas.

"Bu, maaf apa betul ini rumah yang ada di alamat ini?" Arda bertanya dengan menunjukkan sebuah alamat pada seorang ibu-ibu yang kebetulan lewat di dekatnya.

"Memang adek mau cari siapa, ya?" Ibu tersebut tak langsung memberinya jawaban, namun seperti menyelidik lebih dulu.

"Saya Arda, bu, temennya Aini." Arda menjelaskan tentang maksud dan tujuannya pada orang tersebut hingga akhirnya ia bisa meyakinkannya.

"Oh, keluarganya sedang keluar kota, tapi kalau Aini nya kemarin ada, coba aja ketuk pintunya, mungkin ada di dalam." Setelah berterimakasih, Arda memberanikan diri untuk masuk ke halaman dan mengetuk pintu rumah tersebut.

Tok tok tok...

Butuh waktu lama hingga akhirnya pintu itu terbuka dengan perlahan sehingga menimbulkan derit suara yang menakutkan seandainya itu terjadi pada waktu malam.

Hai...

Hhhmmmmm....enaknya nyapa apa ya? Bingung...😅

Kayak biasa aja deh...

Apa kabar semuanya?
Jumpa lagi dengan ceritaku yang apa adanya ini, seperti biasa, jangan lupa kasih vote, komen, kritik serta sarannya ya, terus follow juga akunnya...

Tanpa kalian, cerita ini gak ada artinya...

Terimakasih...🙏😊

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang