27. Raga Tersisa

1.3K 70 5
                                    

Gadis itu duduk, tak lama bersandar pada seorang laki-laki yang berada di sampingnya. Angin sepoi-sepoi menambah kenyamanan mereka berdua untuk berlama-lama di sana selama jam istirahat masih berlangsung.

"Dan, apa kita bisa selamanya kayak gini?"

Perempuan itu tersenyum, menunggu jawaban menyenangkan dari pasangannya. Ia begitu berharap kalau momen seperti saat ini tak cepat berakhir.

"Mungkin."q

Namun jawaban dari sang pasangan tak begitu menyenangkan dan tak sesuai harapan. Ia melepaskan kepalanya dari sandaran, menatap sang pria yang masih menatap jauh kedepan. Tatapannya kosong, serta tanpa ekspresi.

"Kok kamu malah ngelamun?"

Laki-laki itu menoleh, seraya tersenyum. Sebenarnya, sejak tadi ia merasa aneh dengan apa yang ia rasakan, sesuatu yang tak begitu dimengerti telah terjadi. Namun ia memilih tak banyak bicara dan tetap fokus pada tujuan semula.

Bel masuk berbunyi, menandakan pembicaraan mereka harus berakhir di sini.

Mereka berjalan bersama, menuju kelas berbeda, pada persimpangan lorong mereka berpisah untuk sementara, menunggu jam pelajaran sekolah usai kemudian bisa kembali pulang bersama.

Di dalam kelas, Danu terdiam, ia masih memikirkan apa yang ia rasakan tadi, sesuatu yang tak begitu dimengerti.

"Bro, tumben."

Arie, teman satu kelasnya membuyarkan lamunan serta rasa itu.

"Eh, tumben kenapa?"

"Tuben aja, jarang-jarang gua liat loe ngelamun, kenapa?"

Arie yang tengah akrab dengan Danu cukup mengenal baik sosoknya, namun Arie tak mengetahui bahwa semua hanyalah bagian dari sebuah rencana, sampai pada akhrinya, hasutan Danu membawanya pada sebuah ambisi untuk membalas perlakuan Benie serta Randy pada acara Pendakian Terakhir mereka.

Jam pulang telah tiba, Aini tengah terlihat menunggu di dekat tempat parkir kendaraan siswa, ia telah terbiasa pulang pergi ke sekolah bersama Danu.

"Hai, udah lama?"

Aini menyambut Danu dengan begitu ceria, ia masih berbunga-bunga atas status mereka saat ini. Sementara Danu masih merasakan sesuatu yang berbeda dalam diri. Dalam perjalanan pulang, Danu bahkan tak banyak bicara seperti biasa. Setelah memastikan Aini selamat sampai rumahnya, ia pun langsung pamit.

*****

Dalam cengkeraman kuat wanita yang pernah ada dalam hatinya, Danu tengah terpejam, ia benar-benar telah kehilangan semuanya, termasuk ambisi gelap yang pernah menjadi tujuannya saat ini. Namun setelah memori indah itu berputar kembali di otaknya dan membuka semua rasa dalam hati, tekadnya mulai bangkit kembali.

Mata yang tengah terpejam, kini telah kembali terbuka, menatap nyalang gelap dunia serta apa yang pernah menjadi jalan hidupnya. Dengan kekuatan yang pernah ia gunakan ketika melawan Ki Idir, ia bertekad akan mengakhiri semuanya walau tahu ia pasti akan mati setelahnya.

Tangan Danu mulai mencengkeram erat tangan Aini yang mencekik lehernya, hingga ia perlahan melepaskan cengkeramannya. Mereka kembali berhadapan, Danu sadar akan apa yang dihadapinya bukanlah Aini yang sebenarnya, kini ia telah menjadi raga tanpa nyawa yang telah dirasuki iblis yang pernah ia puja.

Dengan tergesa, Danu lebih dulu menyerang, ia telah mengukur batas kemampuan yang tengah ia gunakan saat ini, dan ia yakin bahwa kekuatan yang ia gunakan takkan memberinya waktu yang lama.

Danu menggeram, mata mulai memerah menatap tajam sang lawan setelah serangan awalnya mampu dihindari dengan mudah, namun sayang, Aini yang sudah bukan dirinya tak sedikitpun menunjukkan rasa takut, walaupun ia mundur, namun itu bukanlah sebuah pertanda akan kekalahan, tapi lebih kepada ia hanya sedang waspada saja.

Aini tertawa, ia tahu bahwa Danu sesaat lagi akan mati.

Dimas, Vika, Anita dan para penduduk desa yang masih bersembunyi menyaksikan pertarungan mereka, tak bisa berbuat apa-apa, mereka lebih memilih untuk menunggu pertarungan itu selesai dan melihat siapa pemenangnya, baru kemudian menentukan langkah. Akan sangat berbahaya bagi mereka untuk melakukan tindakan, mereka bisa saja mati terbunuh sia-sia.

Gerakan dari serangan Danu semakin lama semakin melambat, kekuatan serta daya tahan tubuhnya mulai menurun drastis, namun bersamaan dengan itu, muncul sebuah keanehan. Aini yang sebelumnya menyeringai, kini mulai menangis dan melakukan gerakan-gerakan di luar kendali. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Danu mulai bereaksi, kembali melakukan serangan dengan tenaga tersisa. Serangan Danu berhasil, dan membuat Aini terpental cukup jauh hingga memuntahkan darah. Sadar akan keadaan yang mulai menguntungkan, Danu tak menyia-nyiakan kesempatan, ia berusaha menyerang dengan kecepatan yang masih sanggup ia lakukan. Namun langkahnya terhenti, dihadapannya kini telah berdiri dan siap untuk menghentikan serangan Danu pada sahabatnya.

"Cukup, tolong lepasin dia."

Dengan sisa tangis yang sejak tadi di tahan demi tak mengganggu jalannya pertarungan. Tak hanya Anita, Vika dan juga Dimas kini berada dihadapan Danu namun dengan tujuan berbeda, mereka ingin menyelamatkan Anita dari situasi berbahaya itu.

"Dasar bodoh, dia bukan sahabat loe lagi."

Danu membentak, namun dalam hati, Dimas membenarkan apa yang Danu katakan barusan, namun Anita masih tetap bertahan dengan pendiriannya, ia masih tetap berdiri paling depan untuk membela sahabatnya.

Benda dingin kini mulai terasa di leher Anita, bersamaan dengan itu, tanpa disadari Aini kini tengah berdiri tepat di belakang Anita setelah sebelumnya berhasil menghempaskan Dimas serta Vika hanya dalam satu kali serangan.

Danu mulai siaga, ia akan siap bergerak ketika kesempatan itu datang. Aini mulai mengayunkan pisau dalam genggaman, Danu bergerak maju beberapa langkah hingga akhirnya darah mulai mengucur dari pisau dalam genggaman tangan Aini yang mata pisaunya berada dalam genggaman Danu dan hanya berjarak kurang dari lima senti untuk merobek leher Anita. Anita tak sanggup bergerak, logika dan rasa ingin menolong dan membawa sahabatnya kembali belum bisa menerima kenyataan bahwa Aini yang kini ia lihat bukanlah sahabatnya, hanya tersisa sebuah raga tanpa jiwa sebenarnya di sana. Danu melempar Anita hingga ia menjauh. Danu melihat ada sebuah harapan di sana, dari sorot mata yang ia lihat sebelumnya tampak memberi isyarat bahwa iblis itu masih menyisakan kelemahan.

Danu telah kehilangan banyak darah akibat luka di telapak tangannya, namun ia berhasil merebut pisau dari tangan Aini.

Kembali, Aini menunjukkan sebuah keanehan. Ia mulai menangis dengan suara yang begitu dikenal oleh Danu dan juga yang lainnya, yaitu suara Aini, namun sesaat kemudian ia kembali tertawa dengan suara berbeda.

Aini perlahan mundur dengan kondisi tetap seperti itu, ia berusaha berlari menjauh dari tempat pertarungan, Danu mengejar namun Aini sangat sulit untuk terkejar, ia terus berlari menghindari Danu yang mengejarnya, tak hanya Danu, Dimas, Vika, Anita dan para penduduk yang sejak tadi hanya bersembunyi pun ikut mengejarnya. Aini berhenti, tersudut pada sebuah tebing curam, di bawah tebing, laut dalam siap menyambut dengan siap meremukkan orang-orang yang nekad terjun ke sana.

Aini berbalik, namun ia tak bisa pergi menghindar dari tempat itu, ia terkepung. Tawa Aini mulai kembali pecah, dan siap kembali menghadapi Danu yang berada dihadapannya...

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang