12. Siap

2.2K 150 24
                                    

"Bos, barang yang dianter ke rumah bu Ani cuma ini aja?" Seorang pegawai baru yang bernama firman kini telah menggantikan posisi Randy yang sudah satu bulan telah menghilang, dan kabarnya telah diculik orang, dan hingga sampai saat ini tak ada kabar perkembangan kasus penculikan itu walaupun bos tempat Randy bekerja telah melaporkannya pada pihak berwajib.

"Ya, jangan lupa itu bonnya, ya." Pegawai baru itu bisa menggantikan pekerjaan Randy dengan mudah, walaupun Bos itu belum benar-benar percaya padanya.

Setelah semuanya lengkap, diapun berangkat.

*****

"Bu." Sapa seorang gadis dengan rambut tergerai pada pemilik toko sembako di dekat rumah sahabatnya, Anita.

"Eh, nak Aini, lama ibu gak lihat kamu." Bu Ani tersenyum, perempuan berbadan subur itu sedang menghitung belanjaan pesanan yang dibawakan oleh pegawai toko ritel besar yang menjadi langganannya berbelanja.

Aini hanya tersenyum menanggapinya, ia tak sadar ada yang sejak tadi memperhatikannya dan kalau diperhatikan ia kini sedang tersenyum-senyum sendiri melihat gadis cantik yang sedang berbelanja di toko milik bu Ani itu.

"Ehm." Bu Ani yang menyadari pegawai toko yang mengirim barang belanjaan pada tokonya memperhatikan Aini, langsung menggodanya, dan ia pun menjadi salah tingkah karena ulahnya memperhatikan wanita diketahui orang lain.

"Kalau lagi kerja, jangan melamun, apalagi kalau lagi ngitung uang." Bu Ani memperingatkan pegawai baru itu dengan sedikit bercanda, membuat pegawai itu semakin salah tingkah.

"Eh...iya, maaf, bu." Pegawai itu tersenyum dengan canggung, apalagi setelah mendengar omongan itu Aini jadi memperhatikannya dengan tersenyum lucu.

"Sudah pas, bu, saya permisi dulu, bu." Dengan rasa gugup yang semakin menjadi setelah Aini melihatnya, pegawai itu pun pulang dengan tergesa. Setelah tak terlihat lagi, bu Ani tertawa, ia menertawakan tingkah konyol pegawai itu.

"Dasar polos." Gumamnya pelan namun masih terdengar oleh Aini.

"Emang tadi siapa, bu?" Ucapan bu Ani tadi memancing rasa penasaran Aini.

"Itu tadi pegawai baru di toko langganan saya." Bu Ani menjelaskan siapa orang yang tadi memperhatikan Aini itu.

"Dia yang ngegantiin si Randy." Ekspresi bu Ani berubah. Tersirat sedikit kesedihan mengingat kejadian satu bulan yang lalu, di mana orang yang ia kenal baik, diculik di depan mata kepalanya sendiri, dan hingga sampai pada saat ini belum ada kabar tentang perkembangan penculikan itu. Randy memang hanya seorang pegawai toko biasa yang sudah kurang lebih sekitar dua tahun kenal dengan bu Ani, namun dimata bu Ani, Randy adalah orang yang baik.

Selesai belanja, Aini kembali ke rumah sahabatnya dengan hanya berjalan kaki. Dari jauh, terlihat sebuah motor sport yang pernah ia lihat dan mengantarkannya pulang telah terparkir di pinggir jalan tepat di dekat gerbang kecil pintu halaman rumah Anita, dan pemiliknya kini tengah berdiri, menunggu orang yang ditunggunya sampai dengan hanya beberapa langkah lagi saja hingga mereka bisa saling berbicara.

"Hai." Arda kini telah bisa lebih santai ketika bertemu dengan Aini, kegugupannya perlahan mulai hilang seiring bertambahnya kedekatan mereka.

"Udah lama nunggu?" Aini membalas dengan senyum. Ada sedikit perasaan aneh ketika ia melihat sorot mata Arda yang dalam menatapnya, namun ia berusaha menepis apa yang ia rasa.

"Mmmhhhh, belum sih, baru nyampe kok."

Setelah pertemuan mereka yang dipertemukan oleh keadaan, kini mereka pun menjadi semakin dekat namun tetap belum memiliki ikatan, hanya masih sebatas pertemanan saja. Aini tahu bahwa Arda menyukainya, tapi hatinya selalu menolak memberi ruang untuknya. Tempat itu masih tak terganti dan tak terisi.

"Oh ya, minggu depan kamu ada acara gak?" Dengan ragu, Arda bermaksud ingin mengajak Aini untuk sekadar berlibur pada akhir pekan, tentunya ke tempat yang tak terlalu jauh dari kota mereka.

"Mmmhhhh.l, gak tahu juga sih, emang kenapa?"

Dan akhirnya mereka pun menikmati obrolan kecil yang telah mulai menemukan titik nyaman diantara mereka berdua. Tanpa mempedulikan atau mungkin melupakan bahaya yang berada di sekitar mereka, karena kini sepasang mata yang sejak tadi mengawasi mereka mulai memperlihatkan sebuah ekspresi kebahagiaan.

*****

Di tempat lain, Daniel termenung sendiri di dalam kontrakannya yang tak begitu luasa dan mewah, juga terkesan apa adanya. Masalah yang dihadapinya saat ini tak bisa diselesaikannya dengan mudah, namun ia tak mau, atau lebih tepatnya tak bisa menceritakan masalahnya itu pada Dimas. Dalam kondisi tertekan takdir mengirimkan Arda bak seorang pahlawan untuknya. Setidaknya teman barunya itu bisa menjadi tempat berbagi untuknya di saat seperti ini. Ia telah sedikit banyak menceritakan kisah hidupnya yang lumayan penuh perjuangan, hingga seorang wanita mampu menaklukkan hatinya dan akhirnya menghancurkannya dalam sekejap. Butuh waktu cukup lama hingga Daniel bisa menata hidupnya kembali, namun lagi-lagi ketika ia mulai merangkak bangkit untuk menggapai asa tertunda, sesuatu yang tak bisa ia terima, dengan sangat perih harus ia jalani, hingga lambat laun kesabarannya mulai terkikis namun tak bisa ia lepaskan dengan begitu saja, ia hanya bisa memendamnya hingga menjadi dendam yang semakin lama semakin kuat dan menciptakan ambisi untuk membalaskan rasa sakit hatinya.

Belum selesai masalah yang ia hadapi, ia pun harus membantu Dimas untuk melindungi Aini. Memang dengan adanya kejadian itu, Daniel jadi mengenal sosok Arda yang bisa sedikit membantu menyelesaikan masalahnya.

"Bro, lo ada dirumah?" Pesan singkat dari Dimas dibacanya dengan tak bersemangat.

"Emang kenapa?" Daniel tak menanggapi pertanyaan dari Dimas, ia justru malah bertanya balik padanya.

"Biasa, kita ke rumah Aini." Daniel tak langsung membalas pesan itu, untuk hari ini, ia ingin sendiri dan menyendiri, tak mengapa walau hanya berteman sepi.

Dan setelah berpikir cukup lama, Daniel pun membalas pesan Dimas yang tadi belum dibalasnya.

"Sory, Dim, gua gak bisa." Setelah memastikan pesannya terkirim, Daniel langsung mematikan poselnya, berharap Dimas tak menghubunginya lagi.

Daniel memutuskan untuk tidur walaupun ia tak sedang mengantuk, mungkin dengan tertidur, ia dapat sedikit melupakan masalahnya, dan nasib sial justru menghampirinya. Suara motor sport dengan knalpot racing secara otomatis merusak moodnya untuk istirahat, dengan geram Daniel berjalan ke arah depan pintu kontrakan. Pada awalnya ia berniat ingin memaki orang yang menggunakan motor itu, karena pengendara itu juga berhenti di depan kontrakan Daniel.

Dibukanya pintu depan kontrakannya itu dengan keras, dan mendapati seorang laki-laki dengan jaket hitamnya telah berdiri di depan pintu. Dari caranya berdiri dengan posisi tangan telah terangkat ke atas dan bersiap untuk mengetuk pintu.
Setelah melihat dan mengenali orang itu, rasa amarah Daniel pergi dengan cepat, secepat sebuah amplop datang ke dalam genggaman telapak tangannya itu. Dari tebalnya, pastilah bisa diukur bahwa isinya lumayan untuk mencukupi kebutuhannya selama satu bulan kedepan.

"Sory bro, gua gak bisa lama-lama." Tanpa berbasa-basi lagi, orang itu pergi, namun sebelum ia sampai di motornya, ia berbalik dan kembali menghampiri Daniel.

"Gak usah dipikirin cara bayarnya, nyantai aja." Daniel mengangguk pertanda mengerti namun tetap merasa tak enak karena orang itu sudah sangat membantunya.

Hai...

Ceritaku yang apa adanya hadir lagi nih, tadinya mau di pending, tapi ternyata idenya malah datang lagi, jadi batal deh...😅

Selesai baca, jangan lupa tinggalkan vote dan komennya ya...
Banyak temen banyak rezeki...😅

Terimakasih...🙏😊

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang