11. Menghilang

2.3K 159 45
                                    

Satu minggu telah berlalu. Sejak kejadian penculikan yang sempat meresahkan warga di sekitar tempat tinggal Anita, namun semua berangsur pulih hingga tak ada lagi trauma pada orang-orang di sekitar komplek akan adanya kejadian yang sama.
Anita dan Aini pun merasakan hal yang sama, walau ketakutan mereka berbeda dari para warga disekitarnya.
Setelah beberapa waktu lalu Aini sempat melihat Danu yang kemungkinan masih hidup, hingga sampai hari ini tak ada sesuatu yang aneh atau buruk yang terjadi padanya dan berharap takkan terjadi apa-apa.

"Ta, gua gak enak selalu ngerepotin." Aini masih menginap di rumah keluarga Anita, walaupun kedua orang tua Anita tak mempermasalahkan hal itu tapi tetap saja, Aini merasa tak sopan tinggal terlalu lama di rumah orang lain.

"Lo kaya yang sama siapa aja, nanti kalau dia tiba-tiba ganggu lo lagi gimana?" Anita mengernyitkan dahi seraya menatap Aini heran.

"Kayanya waktu itu kita cuma salah orang aja, Ta, mungkin orang itu cuma mirip." Aini mencoba berpikir positif, walau pada kenyataannya itu hanya sebagai alasan saja agar ia bisa pulang kerumahnya sendiri dan tak merepotkan Anita lagi.

"Ya udah deh." Anita menghela napas panjang, lalu mengembuskan nya dengan kasar, ia tak bisa menahan sahabatnya lagi, karena ia tahu sahabatnya itu akan tetap pulang kerumahnya walau ia tak mengizinkan.

Anita bersiap-siap, mengenakan jaket dan celana panjangnya, tak lupa juga ia mengambil kunci motor yang berada di atas nakas di samping tempat tidurnya.

"Yuk." Aini tak menanggapi ajakan Anita, ia tersenyum yang membuat Anita heran tak mengerti.

"Kenapa?" Merasa ada yang aneh dengan sikap Aini, Anita pun bertanya-tanya.

"Gua udah minta tolong sama Arda, Ta." Ucap Aini dengan tersenyum, namun justru membuat Anita semakin tak mengerti dan penasaran.

"Maksud lo?" Anita mendekati Aini yang duduk di samping ranjang sambil membereskan perlengkapan makeup-nya, Aini hanya tersenyum simpul, sedikit lucu melihat sahabatnya itu begitu penasaran dengan ia yang akan diantar Arda untuk pulang.

"Arda yang nganter gua pulang, Ta."

*****

Di depan cermin, seorang laki-laki sedang bersiap-siap menjemput gadis pujaan hatinya. Ia begitu senang bisa berduaan dengan Aini walaupun dalam kondisi seperti ini.

" Akhirnya kesempatan buat deketin dia datang juga." Arda tersenyum membayangkan kalau Aini nanti, ketika berada diboncengnya akan memeluk dirinya. Angannya mulai melambung tinggi, seiring khayalannya yang semakin menjadi.

Tiga puluh menit berlalu, Arda telah sampai didepan rumah Anita. Berdiri di depan pintu dan sedikit merapikan pakaiannya, juga tak lupa memasang senyum semanis mungkin.

Belum sempat Arda mengetuk pintu, Anita membukanya lebih dulu, karena ketika suara motor sport Arda datang dan berhenti tepat di depan rumah Anita, Anita langsung menarik tangan Aini untuk segera menemuinya.

"Hai." Arda menyapa Anita dan Aini dengan mata yang tak berkedip menatap Aini. Anita tersenyum membalasnya dan Aini tersenyum masih dengan malu-malu.

"Sudah siap?"

Setelah itu, Arda langsung mengantarkan Aini ke rumahnya. Tak seperti yang ada dalam bayangan Arda sebelumnya. Di perjalanan, Aini hanya diam membisu. Arda melajukan motornya dengan begitu pelan, berharap waktunya bersama Aini bisa terasa lebih lama. Beberapa kali Arda mencoba membuka obrolan kembali, namun semuanya berujung pada satu kata "oh." dari Aini.

Setelah cukup lama diperjalanan, karena memang Arda memacu motornya tak seperti biasa, mereka berdua pun sampai di rumah Aini.

Aini masih terdiam, ia memikirkan sesuatu yang menurutnya ada yang aneh.

"Arda, gua mau nanya sesuatu." tiba-tiba saja Aini bertanya pada Arda dengan tatapan serius, Arda yang ditanya dan ditatap seperti itu menjadi gugup dan penasaran dengan apa yang akan ditanyakan Aini.

"Lo tau rumah gua dari mana?"

Deg, Arda tertegun, jantungnya berdetak semakin cepat, keringat dingin mulai membanjiri seluruh tubuhnya yang pucat serta dingin yang kini harus semakin dingin. Ia lupa bahwa Aini belum mengetahui kalau Arda pernah berkunjung kerumahnya ketika Aini menginap di rumah Anita, yang pada waktu itu mereka belum saling mengenal satu sama lain.

"Gua, gua tau dari..." Belum sempat Arda memberi penjelasan atau lebih tepatnya alasan tentang yang Aini tanyakan tadi, ponselnya berdering dengan nyaring, pertanda ada panggilan masuk, yang berarti juga menyelamatkannya dari alasan yang harus ia ungkapkan pada Aini.

Dilihatnya nomer kontak yang menghubunginya itu, yang membuat wajah Arda seketika saja berubah menjadi serius.

"Maaf Ni, gua pulang dulu." Belum sempat Aini mengucapkan terimakasih, Arda telah lebih dulu pergi meninggalkannya.

"Ada apa dengan Arda? Kok buru-buru? Belum juga ngucapin makasih. Mungkin masalah penting." Gumam Aini dalam hati, lalu bergegas masuk ke rumahnya.

Waktu semakin lama berlalu, tak ada tanda-tanda kegelapan itu datang kembali, semua ketakutan mereka terbukti tak beralasan.

*****

"Dia belum mati." Seorang laki-laki berbadan tegap dengan menggunakan jubah hitam tengah berdiri membelakangi seorang laki-laki yang baru saja datang menemuinya. Di atas sebuah bangunan gedung kosong yang telah mereka sepakati sebelumnya.

"Bagaimana mungkin?" Merasa tak percaya, laki-laki yang baru datang itu sudah dihadiahi sebuah kejutan dari sebuah kabar buruk yang tak ingin didengarnya.

"Jangan lupa, dia adalah murid langsung dari kakek tua sialan itu, jadi jangan pernah menganggap remeh sedikitpun tentangnya, walaupun sekarang dia hanya sendirian saja." laki-laki berjubah berbadan tegap itu menghela napas panjang. Rencana yang sebelumnya telah tersusun rapi, kini harus disusun ulang agar hasilnya tetap sesuai harapan.

"Apa dia sudah terlihat lagi?" Tanya laki-laki yang baru datang itu.

"Sampai saat ini belum, tapi semua sudah menyebar, semoga saja kita dapat kembali menangkapnya, hidup atau mati, dan setelah itu kita harus segera mendapatkan wanita itu, ini adalah kesempatan terakhir untuk kita, yang menentukan keabadian atau kematian kita semua."

Setelah pembicaraan singkat dan serius tentang kondisi kelompok mereka saat ini, mereka berdua pun berpisah tanpa ada kata perpisahan sedikitpun, mereka sadar, pertemuan ini bisa saja ada yang melihatnya yang akhirnya menimbulkan kecurigaan hingga berakibat fatal bagi kelompok sesat mereka.

*****

"Dim, gimana kondisi Aini?" Dengan membawa secangkir teh hangat dan camilan, Vika menghampiri suaminya yang tengah duduk di sofa seraya menyandarkan punggungnya dan menatap langit-langit rumah pasangan yang belum lama menikah itu.

Dimas menggelengkan kepala, lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya secara kasar.

"Belum ada tanda-tanda dari Danu, semua baik-baik aja, tapi..." Dimas tak melanjutkan kalimatnya, membuat istrinya penasaran dengan apa yang sebenarnya yang ada dalam pikiran Dimas saat ini.

"Tapi kenapa? Justru bagus kan kalau udah gak ada tanda-tanda Danu bakal balik lagi?" Dimas tak menjawab pertanyaan istrinya itu, ia hanya tersenyum memandang Vika yang berubah menjadi lembut setelah berstatus sebagai istri.

Hai...

Tadi sudah up yang MATI SURI, sekarang giliran PASUKAN MATI nih...

Maaf ya, upnya telat terus...🙏😊
Semoga ceritanya bisa dinikmati...

Selesai baca, jangan lupa vote ya, terus kasih komen saran atau kritiknya, yang belum follow silahkan di follow dulu akunnya...

Tanpa kalian, ceritanya nanti gak ada yang baca loh...😅

Terimakasih...😊🙏

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang