21. Gerilya Pembalasan

1.5K 102 41
                                    

Arda beserta Daniel telah kembali pada gedung tua yang menjadi pusat persembunyian sementara mereka, tanpa mereka sadari sebelumnya bahwa dua anggota baru mereka telah kembali menjadi korban keganasan Danu. Perlahan tapi pasti para anggota baru mereka mulai terkikis habis.

Arda berpisah dengan Daniel, mereka menuju ke ruangan masing-masing untuk mengecek keadaan sandera mereka.

Pintu terbuka, menampakkan sosok yang tak disangka-sangka oleh Anita.

"Arda?"

Anita belum memahami apa yang sebenarnya terjadi, ia merasa antara bingung dan senang namun tak tau apa yang harus ia lakukan, baginya saat ini menyelamatkan Aini adalah yang paling penting.

"Ar, tolongin Aini Ar, dia... "

Anita tak sanggup melanjutkan kata-katanya, ia mendekap Aini dalam keadaan yang masih sama, mata terbuka namun tak ada tanda kehidupan yang terasa di sana.

Arda terdiam, tak sedikitpun menanggapi ratapan Anita, ia lebih memilih menatapnya dingin tanpa ekspresi, namun remang cahaya menyamarkan apa yang ada dalam raut wajah serta hati.

"Ar, aku mohon."

Anita semakin merajuk, namun Arda masih tak bereaksi, setidaknya hanya untuk beberapa saat karena setelah itu ia berjalan mendekati Anita lalu berjongkok dihadapannya untuk melakukan sesuatu.

"Biar gua bawa dia."

Tanpa menunggu persetujuan Anita, Arda langsung menggendong Aini, ia tak menjelaskan sedikitpun pada Anita tentang apa yang akan ia lakukan pada Aini. Anita yang belum memahami situasi hanya bisa menurut saja, Arda mulai meninggalkan ruangan itu dengan membawa serta Aini dalam gendongannya, sementara Anita mengikutinya dari belakang, namun Anita terkejut ketika tiba-tiba Arda mendorongnya dengan satu kaki saat mereka hampir tiba di ambang pintu dan hanya tinggal keluar dari ruangan itu.

"Ah, apa yang loe lakuin Ar?"

Anita tersungkur, beruntung ke dua tangannya secara refleks menahan tubuhnya yang hampir saja membentur dinginnya lantai. Anita tak mendapat jawaban karena sesaat kemudian pintu ruangan itu tertutup serta terkunci kembali. Anita bangkit serta langsung berusaha membuka pintu itu kembali, bahkan ia sampai harus rela menahan rasa sakit pada kedua tangannya akibat menggedor serta membuka pintu secara paksa.

"Ar, apa yang mau loe lakuin sama dia? Loe jangan macem-macem Ar."

Anita menjadi sangat panik, bukan saja karena ia diperlakukan kasar oleh Arda yang masih ia anggap sebagai teman, tapi karena Arda membawa Aini dengan kondisi seperti itu tanpa dirinya.

Di tempat lain, Daniel mengintip dari pintu yang ia buka sedikit demi sedikit untuk memastikan bahwa tawanannya baik-baik saja, dan ternyata memang sesuai dengan yang diharapkannya. Ia melihat wanita itu masih terbaring di tempat tidur yang nyaman, yang sesuai dengan apa yang Daniel minta.

Merasa yakin semua baik-baik saja, Daniel membuka pintu lalu masuk untuk menyapa, berharap mendapat sambutan hangat dari yang dipuja.

Sementara itu di tempat lain lagi, seseorang dalam perjuangan serta perjalanan panjang tak tentu arah setelah berhasil menyelamatkan diri, Dimas tetap berjalan tanpa henti, ia tak peduli dengan rasa sakit dari beberapa duri yang menghujam, baginya hanya ini yang mungkin bisa menyelamatkan mereka semua, ia harus secepatnya mencari bantuan untuk menyelamatkan istri serta sahabat-sahabatnya.

Tenggorokannya terasa kering, namun tubuhnya basah oleh keringat yang tak terhitung derasnya, kakinya perlahan mulai mati rasa hingga tak sanggup lagi untuk berdiri. Dimas jatuh bertumpu pada kedua lututnya sesaat kemudian merangkak untuk melanjutkan tekadnya, namun kekuatan tubuhnya tak bisa berbohong, saat ini tenaganya benar-benar terkuras habis, tenaga yang hilang sama sekali belum terganti dan sampai pada batasnya ia pun ambruk tak sadarkan diri.

Daniel menatapnya lekat, wanita itu terbaring dengan begitu damai, mungkin ia sedang bermimpi indah. Sekilas Daniel tersenyum, sebelum akhirnya ia harus meringis menahan rasa sakit pada salah satu bagian kepalanya setelah dihantam oleh Vika menggunakan sebatang kayu yang ia temukan lalu ia siapkan untuk orang yang telah menyekapnya di tempat itu.

Daniel terhuyung lalu mundur menghindari Vika yang kini tengah berdiri dengan amarahnya yang kian meninggi, terlebih setelah tau siapa orang yang telah menyekapnya saat ini.

"Jadi loe yang udah ngurung gua di sini?"

Tak ada sifat lembut pada diri Vika seperti yang selalu ia umbar ketika bersama suami tercinta. Terlukanya rasa membawa sifat aslinya kembali.

"Loe harus denger penjelasan gua dulu Vi."

Bukannya mendengarkan alasan yang akan di ungkap oleh Daniel, Vika justru tak sudi harus tau tentang alasan itu. Pengkhianatan pada seorang sahabat dari orang yang sudah menganggapnya lebih dari sekedar sahabat takkan bisa terbalas dengan hanya permintaan maaf. Sebenarnya Vika bukanlah perempuan pemberani, namun rasa sayang pada Suami serta Sahabatnya mampu membuatnya melampaui diri.

Vika mundur perlahan, menjauhi Daniel yang masih menikmati rasa sakit di salah satu sisi kepalanya yang sesikit mengeluarkan darah merah. Raut wajah Vika mulai menegang, setelah beberapa langkah ia berhenti karena tak ada lagi sejengkal lantaipun yang bisa ditapaki. Seseorang telah berdiri tanpa Daniel sadari, dengan wajah pucat bagai mayat pucat pasi tanpa ekspresi, walau begitu, kehadiran orang tersebut memberikan ancaman bagi Vika, ia tau kondisinya saat ini sedang tak menguntungkan setelah sebelumnya berani mempertaruhkan semua tekad serta keberanian demi sebuah kebebasan. Menyadari kehadiran seseorang, Daniel berdiri menyambut segan.

"Kita harus bersiap."

Orang itu langsung pergi tanpa menambah kata untuk memperjelas ucapannya, namun Daniel mengerti bahwa persiapan telah selesai. Sepertinya mereka tak peduli dengan beberapa anggota baru yang telah mati demi tercapainya ambisi, terlebih ancaman benar-benar telah datang setelah mereka memastikan informasi bahwa yang telah datang adalah Danu, pewaris keganasan dari aliran mereka sendiri yang telah mereka khianati, yang pastinya kini ia akan menuntut balas.

Matanya perlahan terbuka, namun gelap sekelilingnya tak mampu memberikan warna, semua masih tetap sama kecuali ia tersadar tak di tempat semestinya.

"Di mana ini?"

Tubuh lemahnya memaksakan diri untuk sekedar memperbaiki posisi agar lebih nyaman, untuk sesaat ia termenung dengan sebuah tanda tanya tentang bagaimana atau siapa yang membuatnya berada di sini, di tempat seperti sebuah gubuk kecil beralas rerumputan kering di atas tanah sebelum akhirnya aroma wewangian menjawab semua pertanyaan dengan tak seharusnya.

Dimas tak menyadari, dari balik pintu yang hanya terbuat dari kain usang, seseorang tengah duduk dengan waspada memperhatikan tempat sekelilingnya yang ditumbuhi oleh semak belukar yang cukup tinggi hingga mampu menyamarkan apa yang ada dibaliknya, tempat yang tepat untuk menjadi tempat persembunyian para pemangsa ataupun pemburu.

Menyadari seseorang di dalam tempat persembunyiannya sadarkan diri, ia pun bangkit.

Dimas menyibak kain usang sebagai penutup pintu hingga ia mampu melihat siapa yang kini berdiri dihadapannya, namun sayang, tudung yang orang tersebut kenakan serta selembar kain telah menutupi apa kebenaran dibaliknya.

"Apa anda yang membawa saya kesini?"

"Makan dan beristirahatlah, setelah itu lanjutkan perjalananmu mencari bantuan."

Tanpa mengatakan apapun lagi orang tersebut langsung pergi meninggalkan Dimas dengan begitu banyak tanda tanya tentang siapa pahlawan yang telah menolongnya, terlebih sekilas Dimas begitu mengenali suara serta tatapan orang tersebut, namun tak mungkin ia adalah orang yang ada dalam bayangannya.

"Gak mungkin, dia... Bukan, pasti bukan."

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang