17. Malam

2.1K 150 28
                                    

Dibawah remang cahaya bulan sabit, angin pantai berdesir pelan membawa debur ombak kecil menerpa pasir putih lembut. Membawa butiran-butiran pasir kecil itu hingga perlahan terkikis habis. Dengan mengelilingi api unggun kecil, mereka bernyanyi riang tanpa henti sejak selesai acara makan malam tadi.

Semuanya lupa dengan kondisi yang sebenarnya atau mungkin hanya sebagian saja, tapi mereka masih dalam satu tawa yang sama.

Setelah merasa cukup karena waktu yang telah larut dan juga rasa bahagia yang telah tercipta, mereka menuju ke tenda masing-masing untuk beristirahat dan memulihkan tenaga untuk bersenang-senang di hari esok.

Aini dengan Anita, Dimas bersama istrinya, Vika, dan Daniel dengan Arda, sedangkan yang berada di balik kegelapan, lebih dari satu pasang mata tetap siaga menunggu kesempatan yang sesaat lagi akan mereka dapatkan.

"Krek." bunyi tulang leher yang patah tersamarkan oleh suara deburan ombak serta angin yang menerpa dedaunan dipinggiran hutan itu. Tak ada jerit kesakitan apalagi upaya perlawanan. Pengalaman membunuh membuktikan bahwa mereka bukanlah apa-apa. Senyum kecil mulai tampak apabila kegelapan tak menutupinya, yang perlahan mulai berubah menjadi seringai mengerikan.

Danu membawa korbannya tanpa mereka sadari, dan selanjutnya pasukan kecil yang membawa misi untuk mengawasi Aini pun hilang satu-persatu.

Benda berlumuran darah itu ia usapkan pada pakaian korban terakhirnya malam ini, setelah sebelumnya benda itu sempat membuat lubang pada leher orang tersebut.

"Kalian jangan remehin gua, kalau cuma dengan pasukan kaya gitu, kalian semua akan mati." Danu kembali menghilang di balik kegelapan yang hanya sesaat lagi akan sirna oleh sang fajar yang perlahan mulai menunjukkan kehangatannya.

Satu persatu dari mereka terbangun. Cahaya matahari yang mulai meninggi memberi kehangatan yang membuat mereka tak bisa memejamkan mata lagi. Alam telah menunggu mereka untuk menikmati rasa bahagia atas semua keindahannya.

"Ni, bangun, udah siang, kalau cuma mau pindah tidur mending tidurnya di hotel aja." Anita berusaha membangunkan Aini yang sedari tadi belum membuka mata, namun tak ada reaksi, Aini masih tak sadarkan diri.

"Aini, jangan becanda deh, cepetan bangun, nanti paginya keburu udahan." Anita mengguncang-guncang kan tubuh Aini bahkan hingga mencoba menggelitik, namun tetap tak ada reaksi. Rasa khawatir mulai menghampiri dengan kondisi sahabatnya yang seperti itu, namun ia mencoba tenang walaupun sebenarnya rasa tegang sudah mulai menyerang. Digenggamnya pergelangan tangan yang lemah itu, mencoba mencari denyut nadi untuk memastikan bahwa Aini hanya tak sadarkan diri. Setelah dirasa masih ada, Anita mulai sedikit lega, tapi Aini tetap harus segera mendapat pertolongan.

"Ni, kamu jangan bikin aku takut dong." kembali Anita mengguncang-guncang kan tubuh Aini, berharap hanya dengan itu Aini bisa tersadar kembali.

"Dor." Aini tertawa setelah berhasil mengerjai Anita. Ia merasa geli melihat ekspresi pucat ketakutan Anita.

"Dasar." Anita merasa greget dengan apa yang Aini lakukan padanya, sebagai balasannya ia menggelitik Aini hingga ia tak kuat menahan tawanya lagi hingga akhirnya menyerah dan meminta maaf.

"Duh yang lagi main geli-gelian, gak ngajak-ngajak nih." Arda, Daniel, Dimas dan Vika sedang berdiri diluar tenda dan memperhatikan tingkah konyol kedua sahabat itu yang sebelumnya begitu jarang terlihat. Dalam hati mereka pun bahagia melihat keduanya seperti itu, seakan mereka telah lepas dari beban yang menghimpit mereka selama ini, terutama Aini.

*****

"Apa? Mereka semua hilang? Apa mungkin?" Lima orang dengan pakaian serba hitam, warna samar lingkaran hitam pada mata dan kulit pucat sedang membahas tentang hilangnya anggota mereka yang ditugaskan untuk mengawasi Aini. Anggota yang hilang tak hanya satu atau dua orang, tapi semuanya. Gedung kosong itu selalu menjadi saksi semua rencana mereka.

"Apa dia pelakunya?" Pikiran mereka tertuju pada satu orang yang sama.

"Lebih baik kita lakukan secepatnya."

Mereka membubarkan diri. Rencana berubah, semua akan dilakukan dengan cepat demi tercapainya tujuan mereka dan ini adalah kesempatan terakhir.

*****

Siang telah begitu cepat berlalu. Waktu untuk bersenang-senang ternyata masih tak cukup, walaupun selama seharian mereka telah mengeksplor semua yang ada di tempat itu. Kini waktunya mereka untuk beristirahat untuk memulihkan tenaga agar hari esok bisa bersenang-senang kembali.

"Ta, gua mau cerita sesuatu." Dalam keheningan di antara mereka berdua, Aini memulai pembicaraan yang dari ekspresinya, sepertinya apa yang akan dibicarakannya adalah masalah serius.

"Cerita apa?" Anita siap menjadi pendengar yang baik seperti biasa.

"Tadi siang, waktu gua jalan sendiri ke pinggiran hutan itu, gua nemuin bekas darah." Anita belum mengerti dengan apa yang dibicarakan Aini.

"Terus? Apa ada yang aneh?" Aini menceritakan semuanya dengan detail hingga akhirnya cerita itu membuat mereka berdua tak bisa memejamkan mata.

*****

Menikmati panasnya mentari pada siang itu membuat kulit Aini terasa seperti terbakar. Untuk mendinginkannya Aini mencoba berjalan-jalan di tepian hutan yang dari jauh terlihat cukup sejuk. Ia mulai melangkahkan kaki menuju barisan pohon yang bergoyang tertiup angin. Mereka seperti sedang melambaikan tangan padanya.

"Adem juga." Pinggiran hutan yang berbatasan dengan bibir pantai tersebut hanya berjarak beberapa puluh meter. Tak butuh waktu lama hingga Aini bisa sampai di sana lalu mulai sedikit berjalan-jalan dan kemudian duduk bersandar di bawah pohon rindang.

Dari tempat ia duduk, ia bisa melihat ke arah tenda miliknya dan juga dua tenda lainnya yang sepertinya dari tempat itu d
ia bisa menyembunyikan diri.
Tanpa disadari tangannya menyentuh bagian pohon yang terasa basah, yang membuat permukaan telapak tangannya terasa sedikit lengket.

"Apa ini?" Aini heran. Ia memperhatikan cairan yang menempel pada telapak tangan dan pada pohon yang baru saja ia pegang, suasana yang cukup gelap sehingga pencahayaannya menjadi kurang membuatnya harus memperhatikan dengan lebih seksama lagi tentang cairan itu.

"Ini? Darah?" Aini kaget bahwa yang dipegangnya itu adalah darah, tanpa menunggu lama serta dengan tergesa ia segera pergi meninggalkan tempat itu.

*****

Malam semkin larut, sepertinya dua tenda di samping kiri dan kanan tenda yang ditempati Aini dan Anita sudah terlelap. Waktu telah menunjukkan lebih dari pukul satu dini hari namun matanya tak dapat terpejam. Suasana di luar tenda yang temaram oleh cahaya bulan membuatnya bisa sedikit melihat-lihat keadaan di sana, hingga akhirnya panggilan alam pun terjadi.

"Aduh, kenapa pakai acara pengen pipis segala sih." dilihatnya Anita telah terlelap disampingnya. Ia merasa tak tega kalau harus membangunkan Anita untuk sekadar mengantarnya buang air kecil. Selama beberapa menit Aini menahan rasa ingin buang air kecilnya karena mungkin dengan cara itu perlahan rasa itu hilang, tapi ternyata ia salah besar. Embusan angin pantai yang cukup dingin membuat rasa itu semakin menjadi sehingga tak ada jalan lain, ia harus mengeluarkannya.

Dengan rasa takut serta tekad dari nekad, Aini keluar dari tendanya. Ia berjalan mengendap menjauh namun tak terlalu jauh.

"Akhirnya." Setelah ia bisa menuntaskan hajat kecilnya, ia bisa bernapas lega, biarlah pasir pantai itu menjadi saksi bisu bau tak sedap dari air seni seorang wanita.

Kecuali ia salah besar, seseorang yang telah berdiri menutupi cahaya bulan yang menyinari Aini pun menjadi saksi. Sadar akan bayangan yang tengah berdiri dibelakangnya, Aini mencoba berbalik dengan cepat dan...

Hepppp...

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang