4. Akhirnya

2.6K 185 18
                                    

Setelah pintu itu terbuka, Tak ada siapa-siapa di sana, hanya sebuah kegelapan. Cahaya matahari pagi tak mampu menerangi ruang tamu kecil yang gordennya masih tertutup rapat.

Bulu-bulu di tangan Arda seketika berdiri meremang. Jantungnya mulai berdetak dengan lebih kencang setelah dirinya benar-benar yakin di balik pintu itu tak mendapati siapapun. Arda berbalik lalu kemudian segera pergi dari rumah itu dengan meninggalkan rasa takut, penasaran dan sebuah pintu rumah Aini yang masih dalam keadaan terbuka. Memang tidak sopan, namun rasa takut telah membuatnya lupa etika. Namun persetan dengan etika, karena di sana tak ada siapa-siapa.

Dengan tergesa Arda pergi meninggalkan rumah Aini dengan kondisi pintu dalam keadaan terbuka. Kalau sampai ada orang yang melihatnya, pastilah Arda akan jadi tersangka apabila di rumah itu telah terjadi sesuatu.

"Sial, apa-apaan rumah itu." Di balik helmnya yang berkaca gelap, Arda menggerutu kesal. Lagi-lagi semua tak sesuai harapannya, padahal di benaknya, semua rangkaian cerita indah telah tersusun rapih seperti sebuah skenario film bioskop kisah romantis, namun sayang, sutradara lebih memilih jalan cerita berbeda.

Arda memacu kuda besinya dengan kecepatan tinggi menuju arah pulang ke rumahnya sendiri, tanpa ia sadari ketika dalam perjalanan, ia berpapasan dengan orang yang dicarinya selama ini.

Pagi di tempat yang lain.

"Ta, gua pulang dulu, ya." Sama dengan Arda, pagi hari ini Aini terburu-buru pulang ke rumahnya, ada sesuatu yang ia lupakan begitu saja.

"Loh, kok buru-buru banget? Gak sarapan dulu?" Anita dibuat cukup heran dengan sikap Aini pagi ini.

"Gak usah Ta, makasih, gua pulang ya." Aini melempar senyum tanda permintaan maaf serta terimakasih pada Anita. Tepat setelah Aini keluar dari kamar Anita, ternyata tante Diana baru saja akan mengetuk pintu kamar Anita untuk mengajak Anita dan Aini sarapan.

"Loh, kok? Kamu mau kemana? Tante baru mau ngajak kamu sarapan."

"Maaf tante, aku harus buru-buru pulang, ada perlu." Setelah pamit dengan tante Diana dan Anita, Aini segera keluar dan mencari kendaraan umum.

"Aini tunggu." Anita dengan sepedah motor skuternya sudah siap mengantarkan Aini pulang.

"Gua anter, yuk." Anita memaksa, untuk mengantar Aini pulang, Aini merasa sungkan dengan semua perhatian yang diberikan Anita dan tante Diana, baginya mereka sudah terlalu baik, bahkan ia bingung harus membalas semua kebaikan mereka dengan cara apa.

"Udah, gak apa-apa, yuk." mereka berdua pun berangkat.

Dalam perjalanan.

"Ni, kenapa lo pengen cepet-cepet pulang?" Anita tak bisa menahan penasarannya, sikap Aini tadi pagi membuatnya ingin tahu tentang apa yang membuatnya jadi seperti itu.

"Gak kenapa-kenapa, Ta, nanti gua ceritain kalau udah di rumah." Anita harus rela bersabar menahan rasa penasarannya.
Dari arah berlawanan, sebuah motor berkecepatan tinggi hampir saja membuat Anita dan Aini terjatuh, skuter yang dikendarai Anita sempat oleng hampir terserempet motor itu. Tanpa rasa bersalah, motor itu tetap melaju dengan kecepatan tinggi. Beruntung Anita masih bisa mengendalikan motornya hingga mereka berdua tak sampai celaka.

"Kemajuan tekhnologi gak di mbangi sama kemajuan otak pemakainya." Anita menggerutu.

"Sabar, Ta." Aini berusaha menenangkan sahabatnya, yang masih kesal dan sedikit emosi.

"Gila ya itu orang, kaya berasa jalan sendiri aja." Aini tak menanggapinya kali ini, karena kalau ditanggapi, emosi Anita justru akan semakin menjadi.

Setelah sampai di depan rumahnya, Aini memperhatikan pintu rumahnya yang saat ini dalam keadaan terbuka. Tatapannya tak berhenti disitu, ia juga memperhatikan sekelilingnya, khawatir kalau sampai ada orang yang memperhatikannya juga. Setelah dirasa yakin, Aini mendekati rumahnya sendiri dengan mengendap-endap, seperti seorang pencuri kesiangan. Anita yang belum mengerti apa yang terjadi hanya diam berdiri tanpa bicara atau bertanya, jantungnya mulai berdetak kencang membayangkan sesuatu yang buruk telah menimpa rumah Aini semalam.

Aini memasuki rumahnya sendiri dengan begitu hati-hati. Ia memperhatikan sekeliling ruang tamu untuk memastikan keadaan, namun tiba-tiba, sebuah tangan putih memegangnya dengan perlahan, namun tak sampai membuatnya kaget, hanya sedikit memompa jantungnya saja, karena suara dari belakang itu sangat dia kenal.

"Lo kenapa?" Anita menatap Aini heran.

"Jangan-jangan lo buru-buru pulang karena ini?" Lanjutnya lagi, menebak tentang apa yang Aini pikirkan, Aini tak menjawabnya dengan kata-kata, namun dengan sekali anggukan di wajah tegangnya membuat jawaban dari pertanyaan Anita sudah bisa dipastikan.

"Ya ampun, enak banget ya kalau semalem rumah ini ada yang ngerampok." Ucap Anita menyindir keteledoran sahabatnya, Aini yang mendengar itu tak sedikitpun tersinggung. Ia hanya tersenyum mendengarnya. Ia bersyukur tak terjadi sesuatu yang buruk menimpa rumah sederhana milik kedua orang tuanya itu.

"Ya udah deh, ini kan udah gak apa-apa nih, gua pulang dulu ya." Anita pun kembali ke rumahnya tanpa mereka berdua sadari bahwa beberapa kali orang yang sama selalu lewat didepan rumah Aini dan selalu memperhatikan gerak-geriknya.

Aini menatap halaman kecil yang berada di depan rumahnya. Pandangannya tepat mengarah pada bunga yang sedang mekar disana, namun pikirannya sama sekali tak sejalan dengan apa yang ia lihat. Ia melamun mengingat tragedi yang beberapa kali ia alami, yang membuatnya menitikan air mata. Sesuatu yang begitu kontras dengan keadaan pagi yang cerah dan alam yang terlihat indah bahagia.

Tiiiitt...

Klakson panjang dari sebuah motor yang sedang lewat membuat pikirannya kembali, orang itu tersenyum menyapa Aini dari jauh.

"Pagi, mba." Dengan sopan Aini menyapanya kembali. Walaupun mereka tak berteman, Aini kenal dengan orang itu, karena dia yang beberapa kali menerima orderan ojek online darinya.

Setelah orang itu tak terlihat lagi setelah melewati ujung jalan, kembali angannya itu terbang melayang, kejadian pada "pendakian terakhir"nya masih jelas membekas dalam ingatan. Terbayang wajah Arie yang sedang tersenyum polos dan malu-malu ketika menyatakan cinta padanya. Arie yang sempat tersesat harus berkorban nyawa demi menyelamatkan Aini dan yang lainnya, bayangannya perlahan pergi meninggalkan Arie dan kejadian itu, beralih pada sebuah tragedi pesawat yang ia alami bersama yang lainnya, yang kembali harus memakan korban orang yang disayanginya, yaitu sahabatnya sendiri, Beni, yang mati terpenggal oleh orang-orang suku pedalaman itu, tanpa disadari setitik air bening mulai menetes disudut mata, menampakkan jiwanya yang rapuh oleh kejadian-kejadian tragis yang menimpanya.

Hai...
Perasaan lama gak update...😅
Ada yang kangen sama cerita ini gak ya?

Semoga masih suka dengan ceritaku yang apa adanya ini...

Jangan lupa, selesai baca, tinggalkan vote dan komen kalian, terus follow juga akunnya...

Tanpa para pembaca, cerita ini gak ada artinya...

Terimakasih...🙏😂

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang