24. Bukti Keyakinan

1.5K 90 11
                                    

Bruk...

Ia tak sadarkan diri, dikelilingi beberapa orang yang hanya berdiam menatapnya tanpa melakukan apa-apa. Mereka memperhatikan sekujur tubuh orang yang tak berdaya di hadapannya. Dari kaki, tampak beberapa bercak darah dari luka pertarungannya melawan alam.

Seseorang yang mereka tunggu pada akhirnya telah datang, tak hanya sekedar menunggu bantuan, tapi mereka juga butuh sebuah keputusan.

"Apa yang harus kita lakukan?"

Seseorang dari mereka merasa gusar. Apa yang mereka kira sepertinya sudah mulai menunjukkan kengerian.

"Kita bawa dia."

Tanpa diperintah dua kali, beberapa orang dari mereka langsung menebas beberapa batang pohon kecil seukuran lengan orang dewasa dengan panjang sekitar dua meter. Lalu menggunakan tali seadaanya yang juga mereka dapatkan dari alam, dengan cekatan langsung menyusun batang kayu yang terkumpul menjadi sebuah tandu sederhana untuk membawa orang yang tak sadarkan diri tersebut. Setelah selesai, mereka mengangkat lalu membawanya. Sebuah benda jatuh tepat sesaat mereka mengangkat orang yang mereka temukan di pinggir pemukiman kecil di tengah hutan. Benda berbentuk sedikit pipih dan runcing yang jatuh itu tak di sadari siapapun, namun salah seorang dari mereka mengambil dan menyimpannya.

Apa yang dihadapannya benar-benar tak pernah ia duga, terutama Arda. Kini terjawab sudah alasan gerak-gerik Arda yang terkadang mencurigakan. Anita masih setia berada dalam bayang kegelapan seraya menunggu peluang dari pertempuran yang sesaat lagi ia saksikan. Adegan yang akan ia saksikan lebih menegangkan dari sekadar melihat film horor di layar lebar. Anita akan terus bersabar serta mengamati situasi menunggu mereka lengah.

Berjalan mengendap di balik kegelapan. Balok kayu seukurang tangan berada dalam genggaman, sebagai antisipasi setiap ancaman. Mata tetap memperhatikan ke depan, ke kiri dan kanan, serta sesekali ke bagian beakang. Detak jantung cepat namun nafas tertahan menandakan ia sedang waspada atau justru dalam tekanan, tekanan dari rasa takut.

Menelusuri lorong gelap setelah sebelumnya bisa keluar dari tempat nyaman, bukanlah pilihan bagus, namun tak ada salahnya di coba demi sebuah kebebasan. Jalan yang ia pilih bukanlah jalan satu-satunya namun instingnya mengatakan bahwa ke sinilah ia harus melangkah.

Seiring kaki melangkah, suara gema perlahan mulai terdengar, suara itu berasal dari ujung lorong yang sedang ia tapaki. Getaran benda besar jatuh  menghantam dinding ruangan terasa sampai ke telapak tangan yang seirama mengikuti langkahnya menelusuri apa yang tak pasti. Lagi, demi sebuah harapan, apapun akan ia lewati.

Langkahnya kian dekat dengan pintu penghubung ke salah satu ruangan. Suara ribut di dalamnya telah terhenti, begitu juga dengan langkahnya. Di bagian sisi lain dalam gelap yang sama. Bayangan hitam samar terlihat mundur perlahan. Satu tangan dengan kayu dalam genggaman telah siap seiring waspada terhadap ancaman. Tanpa pikir panjang, Vika menganngkat tinggi senjata yang saat ini menjadi andalan. Bayangan hitam itu terpekik mundur diiringi suara jerit tertahan.

Sikap waspada berubah menjadi rasa penasaran.

"Anita."

Vika berujar lembut memastikan bahwa suara dari bayangan dalam kegelapan itu memang orang yang ia kenal.

"Vika."

Anita menyahut, senang dan tak menyangka bala bantuan telah datang walaupun itu hanya menambah sepersekian persen akumulasi rencana yang telah ia susun. Bukan dalam momen yang tepat, mereka berpelukkan. Namun hanya sesaat, setidaknya cukup untuk menambah sedikit keberanian serta harapan.

Dalam suasana ruangan yang sedang ramai, terlihat dua otang tengah berbaring di lantai dengan pakaian basah. Mereka tak sadarkan diri sejak Danu mulai menikmati pestanya. Darah segar tampak masih mengucur dari lubang yang di buat pada leher ke dua orang tersebut, darah yang sama membasahi sekujur tubuh mereka.

Adegan mengerikan itu sedikit terlewat oleh Anita yang sebelumnya mendapat ancaman dari sahabatnya sendiri. Beruntung suara pekikannya tak mengusik serunya adegan utama.

Seringai dari perangai khasnya tak pernah hilang ketika menikmati rasa dari orang-orang yang baru saja ia habisi.

Jantung mulai berdetak sangat kencang ketika tatapan salah satu korban dari keganasan Danu tepat mengarah ke mereka berdua.

Tatapan kosong, tubuh menggelepar dari sisa tenaga yang masih ada perlahan menghilang.

Anita dan Vika masih harus bersabar. Pertarungan Danu barulah di mulai. Respati serta Arda belum melepaskan jubah masing-masing. Danu tak meremehkan mereka berdua, ia masih ingat betul semasa dulu ia pernah melihat Respati dan Hamdani gurunya bertatung. Dalam pertarungan itu memang Respati kalah, tapi Hamdani pun tak mengalahkannya dengan mudah.

Respati dan Arda beserta dua orang lainnya mulai melepas ikatan pada jubah masing-masing, lalu menanggalkannya ke lantai. Hanya tinggal satu orang yang masih berdiri diam di balik jubahnya. Seringai perangai khas Danu berubah. Danu melakukan hal itu hanya ketika ia benar-benar serius menghadapi lawan yang di anggapnya kuat.

"Sepertinya tak ada pilihan lain selain kita harus bertarung sampai mati."

Kini, giliran Danu yang mulai melepas Jubah bertudung lusuhnya. Jubah yang ia kenakan selama bersembunyi mengawasi Respati dan Arda dari gubuk kecil di tengah hutan, tempat di mana ia meninggalkan seseorang sebelum pergi memulai peperangan. Tubuh tinggi kekar Danu tampak terlihat samar, menampakkan otot terlatih layaknya seorang pasukan.

Danu berjalan sesaat, lalu berhenti membelakangi satu-satunya jalan keluar dari ruangan itu. Rupanya Danu ingin memastikan sesuatu sebelum ia membunuh mereka semua. Belati telah siap pada genggaman ke dua tangannya.

"Cepat, bawa Aini pergi."

Anita dan Vika terpekik. Sejak tadi, Danu mengetahui keberadaan mereka berdua. Rasa kaget serta takut menjadi satu, namun hanya ini satu-satunya kesempatan yang mereka miliki.

Anita dan Vika keluar dari tempat persembunyiannya. Anita berjalan perlahan menghampiri Aini yang terbaring tak jauh dari tampat Danu berdiri. Vika tetap waspada dengan sebatang kayu yang masih berada dalam genggaman, matanya bergantian mengawasi Danu yang masih dalam posisi yang sama dan tak bereaksi terhadap Anita dan Vika yang melewatinya dari belakang.

Salah satu belati dalam genggaman Danu melesat, menembus lengan salah satu dari mereka yang bergerak untuk menghalau Anita dan Vika.

"Aarrggghh..."

"Urusan kalian cuma sama gua."

Vika dan Anita tersentak, mereka dengan cepat memapah Aini keluar dari sana, sebelum sesuatu yang buruk terjadi.

"Pergilah, saat ini gua gak ada urusan sama kalian."

Danu berpesan pada orang yang dulu pernah menjadi sahabatnya, mungkin sebagai pesan perpisahan atau ancaman di masa depan.

"Sepertinya kita harus bisa memanfaatkan waktu yang hanya tinggal sedikit ini untuk membunuhmu."

"Ya, manfaatin waktu kalian buat nginget wajah gua sebelum kalian mati, mungkin kalau kita ketemu nanti di neraka, kalian bisa bales dendam lagi."

***

"Di mana ini?"

Dimas tersadar setelah sebelumnya kehabisan tenaga agar bisa segera keluar dari sana, namun ia juga tentunya harus kembali ke sana dengan membawa bala bantuan.

"Rupanya kamu sudah sadar."

Seseorang tersenyum, dengan wajah renta serta rambut putih menua namun tetap berkharisma.

PASUKAN MATI (EPS. 3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang