#24 : Teman Kecil

45 5 0
                                    

#Ambivert Fact : Seorang ambivert memiliki intuisi yang tinggi dan merupakan pemimpin yang baik.

💚💚💚

Arga’s POV

Mentari muncul seperti biasa pagi ini. Perlahan dan terkesan malu-malu tuk menunjukkan sinar kuningnya.

Ahh, entah ini wajar atau tidak. Sejak kemarin, pikiranku hanya dipenuhi oleh gadis—yang namanya sama dengan pemilik semburat kuning itu.

Rasa ini bak memakan buah simalakama. Ingin sekali kuketikkan pesan maafku sejak kemarin malam.

Namun perkataan gadis keras kepala itu, lagi-lagi membuat niatku terurungkan kembali.

Apalagi, aku mengingakari janjiku untuk menyelesaikan semuanya kemarin. Karena urusan kafe dan aku harus menonton pertandingan Nanta di sore harinya.

Kaki yang tak beralas ini, menapaki rumput basah di halaman belakang rumahku. Hal positif yang hampir selalu ku lakukan setiap pagi, sebelum ritual mandi.

Setidaknya, kita harus mensyukuri nikmat Tuhan satu kali dalam sehari. Dan dengan menatap mentari sembari menghirup udara dipagi hari, adalah contoh kecilnya.

“Ga, nanti kesiangan Ibu ketawain loh.” Kata-kata wanita kuat itu, memang paling tak biasa.

Bagaimana seorang Ibu menertawai anaknya yang terlambat masuk sekolah. Tapi itu mungkin, bagi seorang Ibu Arga.

“Huh, bisa Ga! Pasti bisa! Cuma bilang, maafin Arga ya Ka ...,” kataku memotivasi diri, sekaligus mempraktikan adegan yang harusnya dilakukan beberapa saat yang akan datang.

Deg ... Deg ... “Sial, pake deg-degan pula.”

Aku melangkah masuk dengan tergesa-gesa. Sebisa mungkin bersiap-siap dengan waktu yang sesingkat-singkatnya.

Agar apa? Agar pagi yang terasa berlalu cepat ini, bisa menjadi waktu yang pas untuk menyelesaikan setiap resah yang tertimbun di dada karena Aka.

Baru separuh body motor yang keluar dari garasi bersamaan dengan kepalaku yang condong kedepan.

Namun, manik mataku yang menatap kearah kiri langsung bertabrakan dengan bola mata coklatnya.
Dan hal bodoh selanjutnya adalah, aku dan Aka (kami) saling membuang muka.

Astaga, harusnya tahan Ga! Lo tu cowok, masa ikut-ikutan buang muka sih?!

Dan, kenapa pula Aka bisa tepat berdiri disana? Disertai dengan wajah muram kemarin yang masih bertengger  disana.

Tak lama, Om Anshori keluar dengan baju loreng khas miliknya. Dan beliau mendekati pagar semen setinggi dada yang membatasi rumah kami.

“Nah pas betul, Nak Arga baru mau kesekolah,” katanya padaku.

“Emang kenapa Om?” tanyaku sesopan mungkin.

“Itu,” Ia melirik Aka sejenak.

“Tebengin Aka. Soalnya mobil om di bengkel, terus ada panggilan dari kodim. Jadi Om mau minjem motornya Aka.” Jadi ini, yang bikin air muka Aka sudah asam dipagi hari.

“Oke, siap Om. Ter—gantung Akanya, sih.” Kulirik sekilas wajah Aka yang tampak memerah.

“Aduh, kalian kayak baru kenalan aja. Biasa juga naik andong berdua, dari kecil gak apa-apa. Kok sekarang berangkat sekolah bareng aja, kamu malu-malu gitu Ga. Ya kan anak bapak?” tanya om Anshori pada anak gadisnya.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang