#66 : Kehancuran

22 5 0
                                    

Ambivert Fact : Seorang ambivert jago membaca emosi orang lain.

💚💚💚

Arga’S POV

Aku menggeret pelan koper hitamku dari bagasi bus. Dapat kulihat Ibu dan kak Aster bercakap dengan Langit, di depan sana.

Kenapa ada rasa takut yang mendera? Bagaimana jika Ibu mengira, aku kembali mengecewakan Ayah.

“Ga cepetan, ih.” Ibu bereriak tidak sabar, memanggil namaku.

“Iya, ini lagi jalan Ibundaa.” Aku memasang aksi sok sibuk, dengan banyaknya bawaan.
Setelah percakapan dengan Bu Herlina, kami bertiga pamit pulang. Iya—aku, Ibu dan Kak Aster.

Sebelum berlalu, netraku menangkap sosok Nanta yang berdiri dengan wajah melasnya. Setelah tadi menunggui Arisa di jempung sang abang.

Apakah Nanta dijemput seseorang? Pulang nanti adakah makanan yang bisa ia santap? Pertanyaan itu, sontak membuatku meremang.

“Bu, Kak, pulang duluan aja ya? Arga mau ajakin Nanta sama Langit main ke rumah.”

“Ya udah, motornya Ibu tinggal satu. Biar Kakakmu pulang sama Ibu. Jadi mana?”

“Apa?”

“Oleh-olehnya. Ibu tu jemputin oleh-olehnya ke sini. Entar kopermu bawa sendiri, pake motor.” Hm, Ibuku memang sesuatu.

Kuserahkan bingkisan piscok kesukaan Ibu. Namun senyuman yang kak Aster dan Ibu perlihatkan menyiratkan bahwa, ini hanya alasan. Mungkin setelah bertanya pada Langit dan Bu Herlina, Ibu dan Kakak sudah paham situasinya.

Itulah kenapa, sedari tadi tak satupun dari mereka yang bertanya, bagaimana hasil perlombaan kami. Aku membalik badan, menyembunyikan ekpresi wajah aneh karena hatiku yang meradang.

“Nan,” panggilku. Dan dia hanya menoleh, menunjukkan cengiran andalan.

“Pulang ke rumah gue yuk. Kita musti sambung kegiatan, yang sudah jarang dilakukan. Membuat memori indah yang sukar terlupakan. Jangan lupa Langit, musti ikutan.” Aku berkata, seolah membaca gurindam.

“Emangnya mau ngapain sih?” Nanta masih banyak bertanya, seperti biasa.

Aku tak menghiraukannya. “Langit!” Aku berteriak lantang memanggil Langit yang duduk di kursi panjang, bersama pak Arul—satpam sekolahan. Dan tak lama, Langit sudah berdiri di hadapan wajah.

“Jadi, gue punya misi rahasia. Gue,” aku sedikit menjeda kata-kataku, membuat keduanya memberi tatapan penasaran. “Kemaren beli ps terbaru. Pake uang celengan gue, dari tahun lalu. Kalo Ibu gue sampe tau,” aku membuat aksi menggorok leherku sendiri, dengan jari. “Bisa mati.”

“Kenapa cerita perjalanan kematian kamu, Ga.” Aku tau, pria beku ini bercanda. Tapi sayang tak lucu. Membuatku merinding sendiri, bicara pasal mati begini.

“Tau nih Arga, pasti ngajakin biar kita di omel sama-sama.” Nanta dan kesu’udzonannya.

“Ck, gak gitu. Maksudnya tu, kalo dosa karena nipu orang tua, kalian juga kena getahnya.” Setelah itu tawaku meledak, membuat keduanya ingin sekali memiting leherku.

“Ya, mau ya?” setelah tawaku mereda, aku masih berusaha merayu keduanya.

Dan akhirnya keduanya mau. Tapi sayang, dengan persyaratan pulang dan mandi terlebih dahulu. Aku sudah berteriak, agar mereka tak perlu makan. Supaya seseorang tak harus, makan sendirian.

Haah! Akhirnya mereka mau.

Gengsi sekali untuk jujur mengatakan, bahwa mereka kuundang sebagai permintaan maafku yang mendalam. Atas gagalnya Arga, menjadi pemimpin klub yang baik bagi mereka.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang