#67 : Berkemas

31 3 0
                                    

#Introvert Fact : Sulit melupakan masa lalu.

💙💙💙

Langit’s POV

Selepas mendengar teriakan bu Herlina, Nanta melepas cengkeraman kasarnya dan setengah mendorong saya.

Baru kali ini, saya sangat kecewa pada semuanya.

Sudah cukup saya merelakan perlombaan berharga karena sebuah rasa tidak percaya diri. Sekarang, saat ruang klub yang merupakan saksi bisu perjuangan keras kami akan diambil. Bagaimana mungkin saya terima.

Sialnya saya hanya bisa mengeluarkan emosi pada Nanta. Karena hanya dia, satu-satunya yang paling sulit memberikan kepercayaan kepada orang lain.

Saat ini, ruang klub diisi suara sesegukan Arisa, juga bisikan bu Herlina yang ingin menenangkan gadis itu.

Arga duduk dengan kepala berat. Sedang Nanta, saya tidak mau melihatnya. Kecuali jika ingin bogem mentah saya lemparkan lagi pada pemuda itu.

Sebisa mungkin saya menahan diri dengan mengepal keras kedua tangan, tapi hasilnya nihil. Amarah itu masih ada. Bahkan rasanya sangat sulit untuk diredakan. Karenanya, saya memilih untuk meninggalkan ruang klub. Membanting keras pintu dan berjalan menjauh.

Sampai di sisi lorong, saya melihat Nadhifa yang menatap saya bersalah.

“Itu, ada yang–”

“Saya tidak butuh penjelasan kamu.”

Saya berlalu usai memotong ucapan Nadhifa dan berhasil membuatnya berdiri terpaku.

Saya melangkah keluar sekolah, tidak ada tempat lagi yang saya pikirkan selain pulang ke rumah, dan coba mendinginkan kepala disana. Saya melangkah dengan terburu-buru, dibersamai tatapan nanar yang lurus kedepan.

Ketika sampai, cepat-cepat saya melepas sepatu. Mengucap salam sekenanya saja dan langsung pergi ke kamar mandi.

Saya ingin berwudhu, agar saya bisa lebih tenang.

“Langit.”

Bunda membuat saya menoleh sehabis saya mengucapkan doa setelah berwudhu. Tatapan saya sebisa mungkin saya netralkan agar bunda tidak berpikir macam-macam.

“Langit, kamu kenapa, nak?”

Saya menggeleng pelan ketika ditanyai begitu.

"Mana tas sekolahmu?" tanya bunda lagi. Mukanya melihat-lihat sekeliling saya.

Bodoh Langit. Bagaimana bisa kau tinggalkan tasmu di ruang klub–ah bukan, ruang sialan itu.

“Saya lelah, bun. Ingin tidur. Bangunkan saja ketika menjelang maghrib.” Aku berlalu meninggalkan bunda dan anak-anak panti yang mulai terlihat penasaran dengan apa yang terjadi.

Saya membaringkan tubuh di kasur dan menyembunyikan wajah ke dalam bantal.

Hati saya rasanya perih sekali. Amarah tadi sudah hampir sirna, dan berganti menjadi kesedihan. Yang membuat saya harus berjuang keras untuk menahan jatuhnya bulir air mata.

***

Author’s POV

Seorang gadis menatap serius layar ponselnya. Jemarinya bergerak cepat mengetikkan beberapa kata untuk dikirim kesebuah pesan grup. Kepalanya dipenuhi rasa bersalah atas apa yang telah terjadi tadi siang.

English Company

Waketum
[20:14] Besok aku mau, ruang Sastra udah kosong. Dan barang-barang kita udah harus selesai dipindahin. Cukup kemarin kita kasih mereka kelonggaran.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang