#1 : Nobar

100 12 0
                                    

Langit's POV

Selepas kumpul 30 menitnya klub sastra - atau biasa Nanta sebut dengan briefing - usai, saya segera beranjak untuk pulang. Saya pulang dengan berjalan kaki karena tempat saya tinggal hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari sekolah. Alasan lainnya, untuk menghemat ongkos dan uang saku.

Saya terbiasa memasang earphone di telinga. Tidak terlalu suka dengan suara bising jalanan, teriakan-teriakan siswa di lapangan, dan hal-hal berisik lainnya. Saya memilih untuk mendengar penjelasan guru di kelas yang sengaja saya rekam untuk mengulang materi. Atau pun jika saya benar-benar sedang tak ingin belajar, saya akan memutar murottal Qur'an.

Ahh, mungkin ada satu dua hal berisik yang tidak terlalu saya hindari. Contohnya berisiknya Nanta. Awalnya saya juga sangat tidak suka. Tapi setelah lama mendengar ocehannya di klub sastra, saya jadi terbiasa. Kadang kala, kasihan juga jika selama ia ngoceh, saya hanya memasang wajah cemberut. Jadi, kadang saya layani juga -meski hanya dengan kata 'hmm'.

'Drrtt! Drrt!'

Getaran diponsel saya mengisyaratkan ada pesan masuk. Notifikasi dari Arga. Dan tidak tanggung-tanggung. Sepuluh pesan dikirimnya. Saya buka notifikasi yang tertera di layar. Dan isinya hanya penuh dengan panggilan seperti 'Hei', 'Lang', 'Ngit, 'Langit?', dan sejenisnya.

'Nanti malam, mau nonton bola bareng ngga di rumah Arga?-Nanta. Ps; hape ku lowbatt, Arga mager ngetik, katanya.'

Ho'oh, wajar pesannya jadi bertumpuk begini. Arga tidak mungkin heboh, dichat sekalipun. Kalau Nanta, sudah biasa begini.

'Langit, balas! Jangan read aja! -_- Huh.'

Ada-ada saja dia ini. Saya mengetik beberapa huruf dilayar, lalu menekan tombol send.

'Iya, saya usahakan.'

***

"Assalamualaikum. Langit pulang, Bun."

Sepatu yang saya lepaskan saya taruh di rak sepatu. Beberapa detik setelahnya, datang segerombolan anak mendekati saya.

"Kak Langit udah pulang! Yeey!"

"Kak, main sama Kaila, ya?"

"Kakak, kakak, katanya mau ajarin Rafif main layangan."

"Enggak! Kak Langit mau temenin Zaza siram bunga!"

Ocehan-ocehan mereka membuat saya tersenyum tipis. Beginilah yang terjadi setiap saya pulang. Ramai. Selain itu, saya selalu merasa dirindukan. Juga merasa sangat disayangi. Makanya saya tidak pernah merasa lelah saat sampai di rumah.

"Bunda mana?" tanya saya ketika mereka masih sibuk berceloteh.

Oh iya, suara berisik mereka juga tidak pernah saya benci. Malah, saya sangat menyukainya. Dan, hanya mereka yang bisa membuat saya keluar dari wujud manusia es seperti julukan dari Arga.

Bocah-bocah tadi terdiam sejenak, lalu serentak menjawab. "Lagi masak!"

"Yaudah, kak Langit bantu bunda masak dulu ya. Nanti kalau liburan kita main sama-sama. Setuju?" ucap saya menyakinkan mereka. Muka mereka terlihat sedikit kecewa, tapi mereka lekas tersenyum kembali. Mereka berlarian kembali ke kegiatan mereka masing-masing.

Saya berjalan menuju dapur. Di ruangan ini, sosok bunda Aminah selalu terlihat sibuk. Memasak dengan porsi besar untuk makanan bocah-bocah tadi. Saya menghampiri bunda yang sedang membersihkan sayuran.

"Sini, bun. Biar saya yang bersihkan." Saya mengambil alih tugas bunda.

"Zahra sama Zuhra mana bunda?" tanya saya. Biasanya gadis kembar itu juga ikut membantu bunda memasak.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang