#69 : Canggung

33 4 0
                                    

Ambivert Fact : Seorang Ambivert, seringkali bingung dengan perasaannya sendiri.

💚💚💚

Arga's POV

Ini sudah berapa lama aku terpejam? Mengapa jamkos datang di waktu yang tak dinantikan. Membuatku terlarut dalam satu pikiran sama, yang tak kunjung usai. Seolah waktu telah terlewat jauh. Nyatanya, aku masih berada di perputaran pening yang sama.

Waktu memang sekejam itu.
Saat tengah berbahagia, waktu seolah melaju terlalu cepat. Sampai-sampai, tak mengingat seberapa lama kita tertawa. Sedang di kala sedih mendera, waktu terlampau lama. Membuahkan rasa pening di kepala. Seolah, pedih ini harus begitu dinikmati. Tak boleh cepat berlalu.

Ring ring dong ...

Ah, istirahat. Sayangnya, pikiranku enggan melakukannya. Ia masih terus berputar-putar. Bak mengelilingi labirin penuh jebakan. Kami tersesat beramai-ramai. Dan itu sungguh sial. Karena, Akulah si pemandu jalan. Yang tak tau jalan keluar. Yang dengan bodohnya, memulai sesuatu, tanpa rencana yang matang.

Seburuk itulah, aku. Dan tampaknya, terlalu memaksa jika diri ini menginginkan semuanya baik-baik saja. Kembali seperti semula. Atau setidaknya, tolong Tuhan, biar aku saja yang tersesat sendirian. Sungguh, pertemanan kami tak salah. Jadi bolehkah mereka tetap berkumpul di sana?

“ARGAAA ... ARGAAA ...”

Kenapa senyumku tercipta? Ini sudah sangat lama, sejak terakhir kali gadis matahari itu memanggil namaku dari luar kelas. Terakhir kali, sebelum diriku yang jahat menyakiti hatinya malam itu.

“Ga, Aka nyariin noh.” Seseorang memberitahuku sesuatu yang kuhapal semenjak dahulu.

Tanpa berpikir dua kali, seperti saat aku ingin memotong jalan di hadapan Langit, tadi pagi. Kakiku melangkah pasti. Sedikit membenarkan tatanan baju yang keluar, dan mengusap rambutku agar tak terlewat berantakan.

“Halooo! Tebak Aka bawa apa?!” Suara hebohnya, berhasil melebarkan mataku yang tadinya bak orang korea.

“Apa?”

“Susu ultra coklat, buat Ultramen galaw ...” Ck, dia ingat julukan masa kecilku.

“Gue bukan bocah lagi Ka.”

“Siapa bilang? Kalo pake tali pinggang aja gak bisa, itu tandanya masih bocah!” Kupandang sekilas, area pinggangku.

“Lupa.” Aku melangkah maju, mengambil sekotak susu dari genggaman Aka, lantas menancapkan pipetnya.

Cih, alasan!” Aka membuntuti langkahku dari belakang.

“Kemana?”

“Taman belakang sekolah. Yang ada tulisan, ‘Kak Aka, kapten cantik seantero raya!’ itu Ga.” Ia bersemangat menyombongkan diri, atas kepemilikan tulisan di sebuah bangku semen tua. Jangan-jangan dia bikin sendiri.

Aku hanya menyedot susu di genggaman, dengan mata yang lurus menatap ke satu arah. Hanya sesekali berkedip, untuk mengindikasikan bahwa aku manusia. Bukan zombie.

“WOY GA, AGH! Bengong aja mulu! Denger gak lo apa yang gue bilang?”

“Apa?”

“Itu, yang futsal mau ada pertandingan persahabatan?”

“Hmm.”

“Ham hem, aja mulu!” Dengan menghentak-hentakan kakinya, gadis itu berlalu mendahuluiku. Huh! Aku hanya mampu, tarik dan buang nafas dalam-dalam.

“Tungguin, Ka!”

Kami sudah berada beberapa langkah lagi, untuk sampai tujuan. Sebelum langkah kaki terhenti, karena di sana sudah dijajah oleh dua orang. Awalnya aku memfokuskan pandangan, hingga akhirnya netraku membesar. Tersadar akan siapa yang ada di sana.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang