#51 : Maaf, Bu

33 5 0
                                    

#Ambivert Fact : Kamu bukan tipe penyendiri, kamu cuma butuh momen-momen tertentu untuk sendiri.

[9 Hari Menjelang Pengumuman]

Seperti biasa, sore ini aku membereskan kafeku yang berakhir berantakan karena pengunjung lumayan ramai.

Di tengah proses pengangkatan kursi, aku melihat kak Aster berjongkok di taman bunga mini halaman kafe. Serius sekali liat bunganya, batinku.

Dibanding penasaran, aku melangkah dengan celemek coklat yang masih kukenakan.

“Ngapain Kak?” Sebenarnya aku bisa dibilang sudah tidak canggung lagi dengan kak Aster.

Hanya saja pembawaannya yang dewasa, seringkali membuatku segan untuk bertanya tentang banyak hal.

Mungkin karena aku cenderung bisa membaca suasana, jadi bertanya sekarang mungkin tak apa. Soalnya Arga bingung, kenapa wajah kak Aster terlihat murung kala memandang bunga Dahlia di hadapannya.

Kak Aster sempat tersenyum menyadari keberadaanku, sebelum akhirnya memandang bunga itu lagi. “Kakak suka sama bunganya,”

“Beneran kak? Itu bunga kesukaan Ibu, juga.” Di kafe Ibu menanam beberapa bunga dahlia. Jangan tanya taman di halaman rumah. Penuh dengan bunga kesayangannya ini, dan bunga matahari milik Aka.

“Oh ya? Wah, bu bos ternyata suka bunga dahlia juga. Setelah Kakak inget-inget, setiap hari Bu Dian hampir gak pernah absen semprotin yang satu ini.”

“Ibu mah gitu. Walaupun cuma tanaman, kalo udah sayang di rawatnya pake cinta. Hahaa,” aku tergelak mendengar perumpamaan aneh itu.

“Seperti beliau ngerawat kamu, Ga.”

“Hah?” aku terkejut sesaat, sebelum mampu mencerna ucapan kak Aster yang tiba-tiba.

“Oohh. I—iya Kak.” Senyuman yang terukir di wajahnya, mungkin sedikit ambigu. Kak Aster terlihat tersenyum, untuk menutupi beberapa lukanya.

“Kamu beruntung punya Ibu yang sayang banget sama kamu, Ga. Beliau selalu cerita, tentang kerennya kamu kalo lagi main bola. Sampai-sampai, waktu itu ada segerombolan anak gadis yang nungguin kamu di kafe.

Karena Ibu kamu kasihan, sambil nungguin kamu sampai, beliau cerita tentang banyaknya piala yang udah kamu bawa pulang ke rumah. Tau gak bagian yang paling lucu?”

Aku yang masih terperangah, hanya mampu bergeleng pelan.

“Pas beliau sudah selesai bercerita, anak-anak gadis itu langsung pergi dengan wajah masam semua.”

“Lah kok gitu? Ibu bilang Arga pernah ngompol, atau semacamnya ya Kak?” Aku panik, tak beralasan.

“Bukan. Tapi karena bu Dian bilang, kamu sudah punya pacar. Makanya mereka kecewa. Dan pas mereka sudah pulang, kakak tanya siapa pacar kamu. Beliau jawab, ‘Saya pacarnya Arga. Pacarkan, orang yang saling menyayangi.’ Detik itu Kakak sadar, beliau sayang banget sama kamu. Dan Kakak langsung rindu sama Ibu Kakak.”

Ada jeda sebentar sebelum kalimatnya berikutnya di ucapkan. Ku terka, bayangan cantik ibunya sedang muncul dalam benak kak Aster.

“Karena kakak punya bunda di panti dan sibuk sama adik-adik kakak, jadi rindu kakak sedikit demi sedikit sudah terobati.”

Aku tertegun. Bagaimana suara Ibu yang selalu membangunkanku setiap pagi, tiba-tiba terngiang di telingaku. Bagaimana rasa masakan enak Ibuku, tiba-tiba terasa di indra pengecapku. Dan semua hal yang sudah Ibu berikan, seolah berkecamuk di dalam pikiranku.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang