#45 : Hari Tanam Bunga

32 4 0
                                    

Ambivert Fact : Ambivert seringkali menjadi penengah dalan urusan pertemanannya.

💚💚💚

[Hari Deadline]

Nyaman. Hanya kata itu yang bisa menggambarkan betapa nikmatnya tidur pagi menjelang siangku ini. Masih dengan peci dan sarung yang melekat di tubuh, aku berbaring ditemani senyum mentereng di wajah tampanku.

Selagi shalat subuh telah terlaksana, maka ibu negara tidak akan berkoar-koar dengan toa berjalan miliknya. Begitu pikirku. Namun, entah mengapa kenyamanan yang sudah lama kudamba ini lenyap oleh suara sopran seseorang.

Duk ... dukk!

Ketukan pintu kamarku, terasa sangat keras.

“Woy, bukak gak! Cepetan!” Aku melangkah malas, untuk membuka daun pintu kamarku.

“Lama banget sih, Ga!” Siapa lagi wanita yang lebih cerewet dari Ibuku, kalau bukan Aka si mentari yang kata-katanya lebih pedas dari seblak level lima belas.

Dengan tergesa-gesa Aka memasuki kamar mandi dalam kamarku. Seketika ada bgm yang berkumandang di telingaku, “ingin kuteriak ... ingin kumenjerit ...”

Wajahku yang semula terlewat tampan, berubah menjadi hanya tampan karena senyum di wajahku sudah hilang. Dasar Aka.

“Bu, ngapain sih Aka kebelet, buangnya harus ditoilet Arga?” kataku dengan tampang kesal. “Kan banyak toilet kosong di rum—” perkataanku terhenti saat sampai di depan wc di dekat dapurku.

Ada plang, bertuliskan toilet rusak di mana-mana. Astaga, kemarin malamkan aku menjahili Nanta supaya numpang di rumah Aka. Alhasil Nanta memilih menahan kebeletnya, dibanding minta izin sama bapaknya Aka yang level dinginnya jauh dibandingkan Langit si manusia kutub utara.

“Ck,” decakku pelan. Pagi ini, karma sudah membalas budi jahil Arga.
“Kok bisa sih, toilet rumah lo rusak semua. Orang udah kebelet juga,” omel Aka.

Sadar bahwa berdebat dengan Aka adalah hal yang sia-sia, aku hanya berbicara lewat isyarat mata. Bahkan aku tak tau pasti, apa makna tatapan mataku barusan.

“Gue bantuin Ibu lo bercocok tanam. Makanya gue numpang ke toilet lo. Kurang kerjaan banget gue dari rumah ke sini cuma buat pipis di rumah lo. Emang di rumah gue gak punya toilet?! Dan lagi, gue gak ganjen. Awas lo punya pikiran kayak gitu, gue pitting leher lo.”

Aku nyaris bertepuk tangan yang meriah, mengiringi langkah Aka yang pergi ke halaman depan rumah. Hanya dengan tatapan mataku yang sepersekian detik barusan, Aka berhasil menjawab hal-hal yang bahkan tak kutanyakan.

Aku bergeleng pelan, melenggang menyusul langkah Aka yang tergesa-gesa. Hingga sampai di teras rumah, tampaklah tiga bidadari cantik yang sedang mengolah taman kecil di depan rumahku agar terlihat indah.

Walau satu bidadari memang agak judes, dua bidadari lain yang lemah lembut tutur katanya, berhasil membuat senyum di wajahku kembali tercipta.

“Udah bangun, pak ustad?” kata kak Aster menjahiliku. Saat itu juga aku tersadar, bahwa di pagi yang tanggung ini aku mengenakan setelan pengajian.

“Kok rame?” tanyaku.

“Ibunya lagi bersih-bersih, bukannya dibantuin malah tidur lagi sampai siang. Untung anak gadis Ibu ada dua.” Ibuku menyindir lewat ceramah singkatnya.

“Bunga di taman sudah pada layu. Pas ibu beli bunga di pasar, ketemu Aster. Ya udah Ibu ajakin sekalian. Kalo anak gadis ibu yang ini, baru bangun langsung ibu ciduk ke sini,” kata Ibu sambil menunjuk Aka dengan dagunya.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang