#76 : Bangkit

29 4 4
                                    

#Ambivert Fact : Walau mereka sulit dalam membuat suatu perencanaan, namun ambivert mampu menempatkan  diri sesuai posisi dan kondisi.

💚💚💚

Author POV

Pemuda itu tengah tersenyum cerah. Secerah mentari, yang membumbung di atas kepala. Untuk ukuran pria biasa, tentunya ia sebisa mungkin menormalkan ekspresi wajah. Mencoba terlihat keren, walau sunggingannya lebih cocok bertemankan kata konyol saking overnya.

“Bang Arga!” Putri si junior futsal, menyoroti wajah Arga dengan curiga. “Aku tu nanya, apa sih beda puisi sama sajak? Malah bengong.” Gadis itu bersunggut sebal. Apakah suasana outdoor menjadikan kemampuan mendengar Arga berkurang? Atau lebih tepatnya menghilang?! Mengingat sudah kali ketiga ia bertanya.

Dan ternyata tanpa Putri ketahui, pemuda itu hilang fokus karena kebahagiaannya tengah berlipat ganda.

Memikirkan, betapa indah takdir rumit mereka. Bagaimana kiranya gembira itu kini masih setia. Dan Arga harap, bisa bertahan lama.

Dimulai dari hari itu, sampai selamanya.

***

Arga's POV

Kami sudah nyaris menyerah. Memang terkadang, semua tidak berjalan sesuai rencana. Bahkan tanpa rasa bersalah, diri ini menyalahkan takdir yang terlalu kejam pada kami semua.

Sempat akan berakhir.

Lalu, kala cucuran keringat mencari sosok Langit tak henti mengalir, lantas hati ini sudah yakin. Bahwa semuanya, sudah benar-benar berakhir.

Kami pulang dengan tangan kosong waktu itu. Terselimuti kabut hitam yang sama hampanya. Tanpa asa, barang secercah.

Langit memberi secarik pesan, yang tak akan cukup menjawab semua pertanyaan dalam benak yang bermunculan.

Kenapa harus disaat harapan itu ada, kamu menghilang Ngit?

“Langit nulis surat yang sia-sia! Untuk apa dia tulis tentang kenangan bahagia kita, kalau akhirnya dia pergi gitu aja?!”

“Ada gunanya Ga. Pasti,” Nanta masih setia menatap keramik putih, teras depan klub sastra—walau dengan tatapan hampa.

Jeda hening agak lama.

“Langit bilang, kalo kita bisa pertahankan klub dan rekrut anggota baru, dia pasti bahagia. Dibanding sastra direbut klub lain. Kenapa kita gak coba?” Wajah Arisa yang tampak lelah, tertutupi oleh sedikit api semangat dalam matanya.

Pembicaraan kami, berakhir dengan suatu keyakinan serta sebuah harapan baru. Entah benihnya akan terus tumbuh, atau lagi-lagi berakhir pilu.

Mati satu, tumbuh seribu!

Biar saja, semangat kami pernah redup dan nyaris mati waktu dulu. Sekarang, kami hanya akan maju tanpa jaminan apapun. Termasuk terbebas dari keterpurukan, sekalipun. Tapi, saat ini kami punya jiwa yang lebih tegar. Setidaknya, mampu menahan sedikit banyak guncangan yang mungkin akan bertandang.

***

Ck! Macet lagi Ga.” Nanta lagi-lagi mengeluh, dengan wajah bernoda tinta.

“Di coba dulu lah,” kucoba sedikit membujuk Nanta, supaya uang kami yang mepet, tak lantas sirna dari kantong celana.

“Udah woy! Ini udah kali ke-tiga puluh sembilan, kertasnya kesangkut. Tintanya gak merata, lalu ini namanya pemborosan kertas, Ga.”

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang