#4 : Agenda Baru

73 9 1
                                    

Langit's POV

Saya membenamkan wajah saya ke meja. Sudah setengah jam guru tidak masuk ke kelas. Jangan saja berakhir jadi jam kosong.

Para siswi sibuk ngerumpi, sedangkan siswa laki-laki sibuk bermain game. Rata-rata begitulah yang terjadi. Jarang sekali ada yang melakukan sesuatu yang berfaedah.

Sekalipun ada, hanya murid yang menyelesaikan tugas untuk pelajaran berikutnya.

Kelas yang saya tempati ini biasa disebut-sebut kelas IPA paling bandel. Anak laki-laki dari kelas kami rata-rata suka berkumpul dengan geng-geng anak nakal. Pulang sekolah, yang saya tahu, mereka ramai-ramai pergi ke suatu tempat dengan motor mereka yang berisik.

Tak jauh juga dengan perangai anak perempuan di kelas saya. Paling banyak dari mereka hobinya memegang cermin dan merias diri.

Maka jangan heran kenapa tak satupun murid di kelas ini akrab dengan saya. Toh, tidak ada yang sejalan. Lagipula bunda selalu mengingatkan saya untuk tidak bergaul sembarangan.

Saya memakai earphone lalu memutar rekaman materi dengan volume kecil. Mata saya memandang lapangan basket dibalik jendela samping meja saya.

Oh! Ada Nanta. Kelasnya sedang jam olahraga ternyata.

Benar, kalau di lapangan, dia bukan si overactive. Aduh, dari mana julukan tersebut muncul, ya? Wajar saja dikejar cewek-cewek. Mainnya (sok) keren gitu. Hahaha.

Oh ya, dulu saya sempat berpikir. Bagaimana jika saya sekelas dengan Nanta atau Arga? Apa saya bisa lebih interaktif dari sekarang? Atau bisa saja saya punya lebih banyak teman dari yang bisa saya bayangkan?

Pada akhirnya saya menjawab pertanyaan saya sendiri.

Masuk ke kelas ini memudahkan saya untuk mempertahankan beasiswa saya. Yang salah satu syaratnya adalah selalu meraih peringkat 1, 2, atau 3 di kelas. Memang sedikit sulit bagi yang mendapat beasiswa dan masuk ke kelas unggul.

Jadi, sekarang saya tak pernah menyesal mendapatkan kelas ini.

Kasihan bunda jika saya kehilangan beasiswa, lantas harus membayar iuran sekolah yang nominalnya tidak sedikit.

"Duduk! Duduk! Ada pesulap!"

Saya sedikit menoleh. Anak kelas sudah sibuk kembali ke tempat duduknya karena teriakan Doni, si pemantau lorong kelas. Benar saja, tak lama kemudian wali kelas berkumis tebal itu masuk. Beliau adalah pak Tarno, dan sering dijuluki pesulap oleh anak kelas karena namanya.

"Maaf bapak terlambat. Siapkan dulu kelasnya," ucap pak Tarno memberi sinyal kepada ketua kelas. Surya segera memimpin salam.

"Buka LKS halaman 28 dan 34. Kerjakan uji kompetensi 2 dan 3," ucap pak Tarno memberi perintah.

"Bapak ada pertemuan dengan kepala sekolah. Sengaja saya tidak memanggil guru BK untuk mengawasi kalian. Saya biarkan kelas ini kosong. Jangan ada yang keluar masuk, mengerti?" lanjut beliau. Anak kelas mengiyakan. Tapi mau dibilang bagaimanapun, anak kelas akan keluar masuk kalau diberi jam kosong.

"Nanti istirahat pertama LKSnya di kumpul sama Langit. Nanti kamu bawa ke meja saya, ya." Pak Tarno memandang sekaligus mentitah saya. Bisa dibilang, saya ini kadang jadi suruhannya pak Tarno.

Alhamdulillah, sih. Hitung-hitung memperbagus nilai sikap.

"Pak! Kalau belum selesai gimana?" tanya Ernest. Dia itu setahu saya tidak pernah mau mengerjakan tugas.

"Pokoknya selesai bapak pertemuan, bapak mau tugas kalian sudah di meja. Yang tidak mengumpulkan, ya tidak dapat nilai." Siswa kelas banyak berdecak kesal. Hanya beberapa orang yang notabenenya cukup rajin, bisa menerima tugas pak Tarno.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang