#36 : Bugh!

32 3 0
                                    

Ambivert Fact  : Mereka yang ambivert cenderung sulit untuk memahami perasaan mereka sendiri.

💚💚💚

Arga’s POV

[8 Hari Menjelang Deadline]

Bola mata wanita itu bergerak tak tentu. Benar-benar aneh. Padahal ia sedang menatap ponsel di tangannya.

Walau ia menunduk, gestur tak nyaman jelas terpancar dari sudut matanya. Sedikit keringat tipis juga menghiasi sudut jidatnya.

  Setahuku, AC yang menyala sudah cukup menyejukan udara.

Mungkin karena sedang dikepung oleh suasana aneh, yang juga sangat kubenci ini. Pandangan mataku terarah menatap Nanta yang tampak sama gelisahnya.

Ada apa dengan dua orang ini. Seharusnya masa-masa pertama berpacaran adalah masa yang paling indah bukan? Setidaknya itulah yang kuketahui dari buku-buku roman.

“Kamu lagi sakit?” tanyaku pada wanita yang benar-benar mengganggu ini.

Ahh! Kenapa pula aku sibuk mengurusi Aka. Padahal pacarnya sedang duduk dihadapannya.

Akhirnya Aka mengangkat pandangannya dari layar ponsel miliknya dan menatapku dengan tatapan itu. Tatapan yang sama seperti dulu. Saat Aka kecil, merasa sakit dan ketakutan.

“Ck,” kulangkahkan kakiku kebelakang. Mengambil sebuah botol yang berisi kapsul hijau. Sejak kecil, Aka selalu lebih baik sesudah meminum bubuk jintan hitam dari arab ini.

“Minum,” dan Aka hanya menurut seperti poodle yang patuh pada pemiliknya. Entah hanya halu atau memang benar, mataku mengkap guratan senyum tipis dibibir Aka.

“Nanta, kalo kamu memang pacarnya, harus extra perhatian. Cewek satu ini memang suka penyakitan.” Entah kalimat sarkas ku ini melukai hati Nanta atau tidak.

Tapi seolah sesuatu mendorong bibirku untuk mengatakannya.
Jahat? Mungkin. Karena seseorang bisa jadi harus pernah mencoba menjadi jahat, jika ingin tau bagaimana sakitnya hukuman yang akan ia dapat.

“Sori, Ga. Aku bakal lebih peka lagi kedepannya.” Benar. Nanta itu pria manis yang akan selalu bisa memperbaiki kesalahannya.

Mereka sudah se-meyakinkan itu. Namun sialnya, separuh bagian hatiku masih saja belum mempercayainya. Hingga spontan saja aku mengintrogasi lagi keduanya.

Memang saat ini, aku seperti orang yang menyebalkan. Mungkin hal itulah yang membuat Aka pura-pura ingin menelpon seseorang dan pergi keluar. Dia itu tidak pandai berbohong.

Sialnya, keputusan Aka untuk keluar meninggalkan kursinya membuat suasana di sini bertambah parah.

Aku memilih diam. Karena rasa tak enak yang mendera. Kuputuskan melihat teks berita di hadapanku untuk sesaat.

Bayangkan jika aku jadi Nanta.
Tentu saja orang sepertiku benar-benar mengesalkan karena ingin tau soal semua hubungan yang baru saja di jalin olehnya.

“Nanta.” Tapi sayangnya niatku untuk berhenti mengintrogasi Nanta, digagalkan oleh Langit.

Pria peka yang selalu memperhatikan lewat sorot matanya ini, mungkin sama penasarannya denganku.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang