#33 : (Bad)Mood

34 4 0
                                    

Ambivert Fact : Terkadang seorang ambivert merasa kesal dengan perasaan tidak menentu yang diciptakan oleh mereka sendiri.

Arga’s POV

[11 Hari Menjelang Deadline]

Hening.

Itulah suasana klub sastra saat ini. Tak ada suara. Tak ada yang mau memulai pembicaraan. Hanya ada suara keyboard laptop milik Arisa.

Dia memang wanita yang sudah kita ketahui level cueknya.

Kadang aku berharap, Arisa akan berubah menjadi wanita cerewet yang meramaikan suasana. Seperti seseorang. Gadis berisik dengan wajah menyebalkan miliknya.

Dia itu sangat-sangat menyebalkan. Menggangu pikiran. Menggelayuti perasaan. Atau apalah itu. Yang pasti perasaan asing itu muncul tatkala rumor yang kian membesar tak juga disanggah oleh orang-orang yang sedang di perbincangkan.

Huh! Aku palingkan wajah dengan dengusan nafas yang akhirnya keluar.

Dan sial, manik mataku bertabrakan dengan biji mata seseorang. Bola mata hitam terang itu, tengah menatapku lurus-lurus. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lewat sorot matanya.

Namun penyesalan yang selanjutnya adalah, aku memalingkan wajahku ke arah yang berbeda. Enggan menatap Nanta.

Astaga Arga! Itu cuma Nanta loh, Nanta.

Apa salahnya? Sampai-sampai menaikkan sudut bibirmu saja menjadi susah.

Entah yang lain merasakannya atau tidak, tapi atmosfir ruangan ini jadi berbeda dari sebelum-sebelumnya.

Tak ada lawakan garing Nanta, ataupun suara celotehku kala mengomeli tingkah aneh Nanta.

Semuanya berubah ketika si petakilan jadi pendiam. Si penceramah kehilangan diksi tuk diungkapkan. Dan yang sudah diam sedari awal, tetap stuck pada pendirian.

Benar-benar sesak yang kurasakan. Pernah merasa panas dingin pada waktu bersamaan? Terik diluar ruangan, namun tengkukmu terasa kedinginan.

Dingin di sekitar orang-orang yang saling canggung, namun pelipismu mengeluarkan bulir keringat yang tak terbendung.

Kukira berlama-lama satu ruangan dengan Nanta, adalah hal yang tidak baik untuk kesehatan jantungku.

Bukan karena berdebar, tapi jantungku terus memompa darah ke puncak ubun-ubun untuk akhirnya keluar lewat luapan amarah.

Kuputuskan untuk berdiri. Terlihat seperti kucing yang putus asa. Memutar otak mencari alasan terbaik untuk keluar dari tempat ini.

“Aku duluan ya, mau latihan futsal. Untuk urusan lomba, besok kita rapatin lagi. Bagian kita, masing-masing lanjutin di rumah,” kataku mencoba mengungkapkannya—senatural mungkin.

Namun suasana dingin yang sudah tercipta sedari tadi, membuat perkataanku tampak tak ramah.
“Iya Ga. Bagian aku tinggal dikit lagi kok,” ujar Arisa. Akhirnya gadis ini bersuara juga.

Sebenarnya, batinku sedikit bertanya-tanya. Apakah sekarang Arisa tengah merasakan hal yang sama sepertiku. Tapi karena teman satu kelasku ini sulit dibaca, jadi kuhirauan saja rasa penasaran ini.

“Fokus saja latihannya Ga. Nanti kalau opini saya sudah selesai, saya bantu kamu sama Nanta buat bikin teks beritanya.” Langit sepengertian itu, ternyata.

Wajar saja. Kami sudah lama berteman. Bohong sekali, kalau Langit tidak peka akan situasi yang terjadi.

“Iya Ngit. Makasih sebelumnya. Tapi sebisa mungkin bagianku bakalan selesai sebelum deadline kok.” Aku jadi merasa bersalah.

VERTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang