√36

30.6K 2K 132
                                    

Masa lalu datang, menghapus masa depan yang masih semu. Sekarang aku tanya, siapakah yang akan kau pilih?

Thalia Novenda

***

Athan sudah masuk.

Itulah informasi yang Thalia dapat dari Debby ketika gadis itu berpas-pasan dengan Athan di koridor sekolah sebelum akhirnya berbelok ke koridor lainnya.

Thalia masih menelungkupkan wajahnya dalam lipatan tangan, berusaha seolah tak peduli. Padahal sedari tadi telingnya terbuka lebar-lebar untuk sekedar menguping pembicaraan Debby dan Alisa tentang lelaki itu. Dalam hati Thalia merasa lega. Seperti kata Debby, Athan nampak baik-baik saja dan itu cukup untuk Thalia merasa lebih baik.

Athan nampak tak tertarik untuk bersekolah. Rasanya ia ingin mendekam di kamarnya saja setelah sesuatu yang membuatnya bersemangat menuju tempat ini pergi darinya. Siapa lagi kalau bukan Thalia. Rasa sakit yang ia rasakan kala malam itu masih terasa. Bahkan segala ucapan menusuk yang Thalia ucapkan terrekam apik di memorinya. Seharusnya Athan membenci gadis itu yang seenaknya mempermainkan perasaannya. Tetapi lagi-lagi Athan tak bisa menemukan cara untuk membencinya. Athan terlalu mencintainya. Sangat.

Reza datang menepuk bahu Athan. Tersenyum dengan iba. Athan hanya menampilkan ekspresi datar lalu menyembunyikan wajahnya dalam lipatan tangan. "Than, lo sama Thalia ada masalah apa sih?" bisik Farell di tengah-tengah penjelasan guru.

Athan hanya diam. Bahkan ia tak berniat menjawab maupun memperhatikan guru yang sekarang sedang menulis sesuatu di papan. Tangannya sibuk mencoret di halaman belakang buku.

"Athan!" Farell sengaja mengeraskan suaranya hingga seluruh penduduk kelas menatapnya, tak terkecuali bagi Pak Suherman.

"Kenapa yang di sana ribut? Kalo ribut mending keluar saja!"

Farell tersenyum puas. Rencananya berhasil. Ia segera menarik kerah Athan dengan satu tangannya seperti sedang memegang anak kucing. Athan hanya mengikuti, malas untuk memberontak. Ketika mereka sudah di depan kelas, Farell tersenyum pada guru itu. "Terima kasih pak."

Farell segera membawa Athan menuju rooftop belakang sekolah. Tempat yang sepi dan nyaman. Seperti dugaannya, Athan sama sekali tak tahu jika ada bangunan seperti itu di sekolahnya. Apalagi ada sofa butut yang sudah robek hingga sponsnya keluar di sana.

"Lo mau cerita?"

Athan masih diam. Ia sungguh malas untuk berbicara hari ini.

"Than, gue tau lo sakit hati atas apa yang Thalia lakuin ke elo. Tapi gue yakin, Thalia nggak mungkin ngelakuin itu tanpa alasan."

"Dia cinta Dave."

"Dan lo percaya?"

Athan mengangguk.

"Bodoh!" Farell mengusap rambutnya dengan gusar.
"Bener kata Thalia, lo orangnya nggak pekaan."

Athan menoleh. Menatap Farell dengan penasaran.
"Maksud lo?"

"Thalia nggak mungkin ngelakuin itu Than. Dia cinta lo. Sangat. Pasti ada sesuatu yang dia sembunyiin dari lo hingga dia ngorbanin cintanya dengan alasan masih mencintai Dave."

"Dari mana lo tau?"

"Bahkan orang bodoh sekalipun tahu kalo Thalia masih peduli sama lo. Kemarin, dia kepergok habis nangis di gudang setelah tau kalo lo sakit." Farell menatap langit yang sedang terik hari itu. "Dia terlihat tertekan, frustasi, dan kayak punya harapan hidup lagi."

Athan masih mendengarkan Farell dengan saksama. Ia menyerap setiap perkataan Farell dengan baik dengan kepala yang terus berpikir. "Trus apa yang harus gue lakuin?"

"Mencari tahu."

"Tentang apa?"

"Rahasianya."

***

Athan kembali ke kelas dengan perasaan lebih baik setelah mendapat pencerahan dari sahabatnya. Kadang, Farell memang sangat bisa diandalkan dalam situasi seperti ini walaupun setiap harinya tingkah dan perilakunya konyol seperti anak kecil yang kurang perhatian orang tua.

Farell memang nampak sudah berpengalaman. Bukan, ia tak pernah mengalami masalah seperti ini. Tapi Farell adalah pengamat yang baik. Dia dapat mengamati setiap inci sifat seseorang dan juga ekspresi yang mereka tunjukkan. Mungkin Farell bisa handal menjadi seorang psikolog suatu hari nanti.

Athan dan Farell berjalan menuju kantin karena Reza sudah ke sana duluan. Di saat mereka melewati koridor, dari seberang seorang gadis dengan lincahnya berlari ke arah kedua lelaki itu. Gadis berambut panjang yang mampu mambius kaum adam yang ada di koridor melingkarkan tangannya di leher Athan dan memeluknya erat. Tubuh Athan langsung menegang. Farell yang di sampingnya nampak terkejut. "Gue kembali, Athan," bisik gadis itu di telinga lelaki itu.

Athan menatap kosong ke depan dengan tubuh yang tiba-tiba saja menjadi kaku ketika matanya menangkap seseorang menatapnya dengan terkejut hingga buku-buku di tangannya berjatuhan. Athan segera sadar dan menarik tubuh gadis itu untuk menjauh dari pelukannya.

"Apa-apaan sih lo Lis!?" bentak Athan tak suka. Bukannya menjauh, Lisa justru bergelayutan manja di lengan kokoh milik lelaki itu. "Ih Athan, jangan kasar gitu dong. Kan gue udah kembali. Seharusnya lo senang denger kabar itu."

Athan menyentak tangan Lisa dengan kasar, lalu berlari mengejar Thalia yang langsung berlari setelah melihat kejadian itu.

"Tha! Thalia!" Athan memanggil. Namun Thalia tetap berlari tanpa menoleh.

Athan menyekal tangan Thalia hingga gadis itu berhenti, namun tak ada tanda-tanda Thalia mau menatap Athan. "Lepasin!" bentak gadis itu menyentak pegangan Athan hingga lepas.

"Tha, gue nggak ada hubungan apa-apa sama Lisa. Dia cuma masa lalu. Percaya sama gue."

Thalia melepas Tangan Athan dengan keras. "Sorry to say, gue nggak tertarik." Thalia cepat pergi, namun langkahnya berhenti ketika mendengar suara putus asa dari laki-laki itu.

"Tha, gue salah apa sama lo? Bilang Tha, biar gue bisa memperbaiki diri lagi. Jangan pergi... Gue mohon jangan pergi Thalia. Gue butuh lo..."

Thalia meremas buku-buku yang ia bawa dengan erat. Bibirnya yang bergetar ia gigit dalam-dalam. Ya Tuhan, sesakit inikah rasa yang harus ia rasakan?

Thalia ingin menyerah Tuhan, tapi ia tahu ia tak bisa mengakhiri sesuatu yang sudah ia mulai. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam. "Lupain gue Than. Itu yang terbaik."

***

Setibanya di kelas, Athan kembali dikejutkan dengan seorang gadis yang datang bersama walikelas setelah istirahat pertama selesai. Gadis itu cantik dengan kulit putih yang mulus tanpa jerawat, rambut yang digerai lurus panjang terawat, dan tinggi semapai dengan senyum yang manis mempesona membuat kaum adam menganga ketika melihat ciptaan Tuhan yang begitu cantik jelita berada di hadapan mereka.

"Kalian akan mendapat teman baru. Dia pindahan dari Jakarta." Bu Yulita memandang gadis itu dengan tersenyum. "Kenalkan diri kamu nak."
"Kenalkan nama saya Crystalisa Audrey. Kalian bisa memanggil saya... Lisa."

Irreplaceable [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang