Jangan banyak bicara, tapi lakukan dengan cepat.
-Dhean-Disinilah Dhean berdiri. Di sebuah sekolah menengah atas yang terbilang favorit. Ada satu hal yang tak bisa ia temukan disekolah lain. Yakni, penghuninya yang cantik cantik. Canda, hahaha. Karena, ia ditunjuk sebagai pelatih sekolah sesaat setelah kepala sekolah mengawasinya bermain basket sendirian.
***
Dhean berjalan menelusuri lorong sekolah sendirian. Banyak tatapan mata mengerikan itu menatapnya tanpa henti. Padahal, ia sama sekali tidak memakai atribut yang sangat mencolok.
"Kenapa tatapan kalian menjalang sekali?" Tanyanya langsung membuat pemilik para pasang mata itu membuang muka.
Baik. Dhean kebingungan sekarang. Kemana ia harus pergi. Sekolah ini sangat luas. Bahkan memiliki rooftop seperti sekolah di luar negri.
"Lo kenapa sih? Kayak orang bingung aja," celetuk seseorang. Dhean menoleh cepat menatapnya. Siapa?
"Siapa kamu?" Tanyanya balik. Orang itu terkekeh pelan. Rambutnya.. itu uban atau memang putih?
"Lo kaget lihat rambut gue? Ini gue cat. Nggak ada larangan rambut di cat disini. Nyari kelas lo kan? Pasti anak baru,"
Dhean hanya mengangguk mengiyakan, "10 Ipa-1,"
"Dibelakang lo kelasnya. Bukannya, di tiap kelas udah dikasih nama? Atau lo nggak bisa baca?"
Sialan, ucapan orang ini memang tak bisa dikontrol apa. Dasar mulut ember.
"Kenalin, gue Bryan Antonio. Kerenkan nama gue? Gue senior lo, btw," Lelaki itu melenggang tanpa mengucap apapun lagi. 'Dasar, jangan mentang mentang senior, kau bisa seenak jidat jika berurusan denganku.' batin Dhean.
BRUK!
"Sori." Gadis berambut pirang itu pergi. Dhean hanya menatapnya kesal setelah melihat ia tak menolongnya. Jangankan menolong, menoleh saja tidak. Moral macam apa itu. Sejenak, Dhean mengambil formulir ekstrakulikuler. Banyak sekali yang tertera disana.
Dhean tertegun. Apa yang harus ia pilih? Basket lagi? Mungkin iya, semasa tinggal di London, ia menguasai hampir semua mata olahraga. Terutama basket. Pelatih bahkan tak rela melepaskannya pulang ke tempat kelahirannya sendiri. Kenapa Dhean bisa ada di London? Papa bekerja disana, otomatis keluarga ikut pindah. Lima tahun lamanya disana tak membuatnya lupa bahwa ia lahir di Indonesia.
"Dhean, ya?" Yang ditanya langsung menoleh.
"Iya. Siapa?" Tanya Dhean balik. Gadis berambut pendek itu histeris sambil memeluknya. Gadis aneh. Kenapa dia? Dhean saja tidak mengenalnya.
"Ini aku! Trisuci Indah Maharani! Teman kecilmu dulu, Dhe. Kamu lupa?"
Trisuci? Oh, Rani?
"Rani?" Tebak Dhean. Ia mengangguk kencang.
"Wah, lama tak jumpa ya. Apa kabarmu?" Tanyanya. Rani menggoyangkan kedua tangannya bergantian. Anak ini, dari dulu tak pernah berubah. Jika sudah seperti itu, pasti ada maunya.
"Baik, baik. Kau mau apa?" Lebih baik jika Dhean menyerah. Daripada harus berdebat dengannya dan akan berakhir memalukan. Rani tersenyum lebar. Membuat gigi kelinci serta satu gingsul miliknya terlihat.
"Ikut basket yuk. Aku dengar, selama kamu sekolah disana, kemampuanmu bermain basket cukup mengesankan," ujarnya.
"Iya, memang itu keputusanku. Sepertinya bel akan berbunyi. Kekelasmu sana. Aku pergi," Dhean berbalik seraya melambaikan tangan. Ketika menoleh lagi, lah? Kemana anak itu? Yah, terserah. Memang kakinya lincah sekali. Dhean kembali menuju kelas. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat isinya- dikuasai oleh laki laki? Tunggu dulu, kelas ini tidak ada siswi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Teen Fiction"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...