Mereka tak lagi peduli. Selatan membawa banyak bala bantuan, mengetahui jika dirinya dulu termasuk mantan asisten preman yang paling ditakuti di Kota. Lautan manusia itu masih saling hajar.
"Cih, nggak ngaruh, Dan. Kayaknya kita emang harus manggil polisi," celetuk Selatan. Ia belum turun dalam tawuran massal itu. Masih mengamati dari atas seakan melupakan sosok Dhean yang tak lagi terlihat kepalanya.
"Sial. Dhean sama Rani. Bisa bisanya gue lupa. Kalian bertiga, panggil polisi biar ini tawuran cepat kelar. Walaupun gue yakin, anak buah bos gue bakal menang sekalipun kalah jumlah. Gue mau nyari Dhean du-"
Sebuah batu berukuran sekepal tangan orang dewasa itu nyasar ke kepala Selatan dan membuatnya ambruk seketika. Darah menggenang begitu banyak. Hal itu membuat Danu naik pitam. Ia melempar kembali batu besar itu dan mengenai salah satu orang dalam kerumunan di sana.
"BAJINGAN KALIAN SEMUA!" Danu merangsek mencari sosok adiknya yang entah berada di mana saat ini. Yann sibuk menolong Selatan, sementara Hideki berusaha membebaskan Rani. Danu kalap bagaikan orang kerasukan. Ia mengamuk di tengah lautan massa yang saling hajar dengan anak buah bos Selatan.
Danu geram. Sudah cukup menguji kesabarannya kali ini. Ia tak bisa lagi membiarkan satu persatu temannya berjatuhan. "Lo temannya Selatan 'kan? Suruh anak buah lo buat maju. Gue butuh bantuan mereka buat nyari adek gue," Danu menepuk pundak seseorang yang ia yakini sebagai pemimpin dari para preman yang berada di pihaknya.
"Adek lo yang mana? Mungkin anak buah gue juga bi-"
"Nggak. Nggak perlu. Cukup buat mereka tahu diri aja. Jangan ada yang saling bunuh. Gue nggak mau semuanya terlibat termasuk lo." Sorot mata Danu sudah menjelaskan tanpa ucapan jika ada amarah yang berkuar hebat dalam dirinya. Ia merangsek di antara manusia manusia mengerikan itu disusul para preman maju membantu dari belakangnya.
"Sial, Selatan gimana? Dia masih nggak sadar!" Yann sendiri semakin panik. Ketakutan menguasai dirinya. Ia tak bisa diam begitu saja melihat darah yang keluar dari kepala Selatan masih tak berhenti. Hideki belum menjawab.
"Nyerang pakai mercon seru nih. Korek sama rokok gue masih ada sama lo 'kan? Siniin," ujar Hideki. Yann tak mau bertanya lebih jauh lagi, ia hanya menuruti apa yang Hideki inginkan. Sembari menunggunya, Yann berusaha menghubungi teman atau siapapun yang bisa menolong Selatan saat ini. Hideki benar benar melakukannya. Ia mengarahkan mercon yang berukuran besar itu ke arah kerumunan manusia di hadapannya. Ada rencana dibalik semuanya. Ini memang sengaja dilakukannya untuk menarik perhatian yang lain.
"Jaga Selatan. Gue mau pergi ke arah Rani. Kalo gue nggak balik, maafin gue ya. Emang gue yang ngasih lima sendok sambel ke dalam mangkok bakso lo." Hideki terkekeh sebelum ia menerobos lautan manusia tersebut. Sementara Yann sendiri masih terlalu panik. Ia tak mempedulikan apapun lagi. Otaknya belum benar benar bisa bekerja dengan benar.
"Sebelum lo nanam itu peluru di kepala gue, ada yang perlu gue tanyakan. Kenapa lo ngelakuin ini semua, Raf?" Tanya Hideki nampak begitu tenang. Padahal, Aaron mengarahkan senjata api tepat di kepalanya. Rafardhan terkekeh. Belum sempat menjawab, senjata api itu sudah berpindah tangan.
"Nah, kalo gini 'kan enak. Mundur,"
"Mana mungkin lo berani nembak gue sama Aaron? Tangan lo aja gemetar gitu, hahahah," ledek Rafardhan.
"Oh, ya?" Hideki mengarahkan senjata api tersebut ke udara kosong dan menarik pelatuknya. Nahas, benda dalam genggamannya itu bukanlah asli dan tidak ada peluru di dalamnya. Seketika ekspresi sombong Hideki menguap bagaikan gas. Wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Namun, ia tak menyerah begitu saja. Rani berada di belakangnya, dengan wajah lesu dan tubuh yang sangat lemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Teen Fiction"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...