Hidup itu ibarat peraturan dalam basket. Offense yang selalu maju dan menyerang. Diffense yang selalu sabar dan menanti
-Ghissell-
🏀🏀🏀
Angel mengusap keringat dengan handuk kecil. Samar samar, ia memperhatikan Si Kulkas melatih dengan gaya khasnya. Iya, khas kulkas. Memang, lelaki itu lain dari yang lain.
"Ghis, kamu udah baikan?" Tanya Dhean. Angel meliriknya sekilas. Si Kulkas ini ternyata masih memiliki perasaan ya?
"Oh, udah. Aku ikut lagi aja ya. Gimana kalo kita coba main?" Usulnya. Dhean hanya mengangguk mengiyakan.
Sebelumnya, Angel sudah mengamati cara Dhean bermain. Bagaimana kelincahan kakinya dalam mengejar lawan yang jauh disana. Tangan gesitnya merebut bola tanpa disadari lawan. Jika diperkirakan, tingginya mungkin kurang lebih 180 cm.
"Jangan mengalah hanya karena aku perempuan. Lawanlah aku, seperti kau melawan Bryan," ujar Angel dengan gaya menantang. Dhean tak memberikan ekspresi apapun, selain menghilang dengan cukup cepat dan bola berpindah begitu saja. Tentu saja Angel tercengang melihatnya. Bukan hanya ia, anak yang lain pun sama.
"Curang!" Serunya kemudian. Dhean terkekeh, menunjukkan deretan gigi putihnya. Tak lupa jika gingsul kecil itu ikut terlihat.
"Kau yang minta kan?"
Jangan sekarang, aku bisa menahannya. Dan- ya! Aku berhasil merebut bola itu dari tangan Si Kulkas! Namun..
Bruk!
"Angel!" Dhean menolongnya. Angel tergeletak begitu saja. Wajahnya sangat pucat. Bagaimana bisa ia, sebagai pelatih tak memahami penyakit asma miliknya. Pasti, papa Angel akan menyalahkannya.
"Biar gue aja," sahut Bryan. Ah, dia lagi? Bryan mencoba mengangkat tubuh Angel. Mana kuat, Angel memiliki postur tubuh yang indah bak gitar spanyol sedangkan Bryan saja tubuhnya bak sapu.
"Nggak jadi deh. Buruan bawa ke uks," Bryan berlalu diiringi gaya arogant nya. Dhean hanya mendecih melihatnya. Sejenak, ia menatap wajah Angel, gadis itu. Sudah tahu memiliki penyakit asma akut masih memaksa ikut olahraga berat.
"Maaf, Ngel. Aku nggak bermaksud menyentuhmu," Dhean menggendongnya bak bridal style. Astaga, perempuan ini memiliki berat badan berapa, 'sih? Tubuhnya seringan kapas.
***
Dhean menunggunya sejenak. Bukan karena tak tega meninggalkan Angel sendirian, tapi karena ia takut terjadi apa apa padanya.
"Gimana, Dhe? Belum sadar juga dia?" Celetuk seseorang. Dhean menoleh, mendapati sosok Rani sedang berdiri di sebelahnya.
"Hm, seperti yang kau lihat. Kenapa kau masih disekolah?" Tanya Dhean. Rani terkekeh. Ia merangkul Dhean sambil berujar, "aku ada urusan. Btw, kamu agak beda ya?"
Alis Dhean menukik bersamaan. Beda bagaimana? Pikirnya.
"Ah, lupakan. Aku ngelantur tadi, hahaha," Rani berlalu.
Angin sore berhembus perlahan. Menggugurkan dedaunan kering satu persatu. Gemerlap lampu mulai dinyalakan. Dhean masih setia menunggu Angel sadar walau anak anak mulai pulang. Mereka berpamitan padanya sebelum akhirnya meninggalkan sepi disini. Satu, kecuali Rani. Ia masih duduk manis. Bahkan berinisiatif menghubungi orang tua Angel agar menjemputnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Novela Juvenil"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...