Sejak berumur sepuluh tahun, lelaki itu memang sudah terbiasa hidup dengan penuh luka. Tanpa mengetahui lebih jauh apa alasan Rafi sering menyuruhnya untuk tidak terlambat mengkonsumsi obat yang diberikannya.
"Nah, Dhean, mereka adalah teman Papa. Yang ini Dokter Faren dan yang di sebelahnya adalah Dokter Nathan. Jangan nakal, ya? Papa menitipkanmu sebentar," Rafi mengacak rambut anak semata wayangnya sebelum pergi meninggalkan Dhean dan kedua lelaki itu.
"Umur Dhean berapa?" Tanya Faren ketika berusaha mendekati bocah laki laki tersebut. Nampak jika Dhean tak begitu takut. Hanya saja, respon kepada kedua dokter itu terkesan dingin.
"Delapan tahun. Ada yang mau Dhean tanyakan. Kenapa Dhean harus minum semua obat ini? 'Kan Dhean nggak sakit," ucapan polos yang meluncur mulus dari mulut Dhean membuat Faren membisu seketika. Ia sedikit kebingungan menjawab pertanyaan polos dari Dhean.
"Ini vitamin kok. Biar kamu nggak gampang sakit," sahut Nathan. Faren menghela nafas lega. Merasa terselamatkan lantaran Nathan menyadari jika dirinya sedikit panik. Dhean tak bertanya lagi. Ia masih sibuk mengagumi beberapa peralatan medis terpajang begitu rapi di ruangan Faren. Tangannya memang tak bisa diam. Sesekali ia menyentuh alat alat tersebut. Pandangannya terhenti pada stetoskop.
"Apa Dhean boleh meminjamnya?" Tanya Dhean seraya menunjuk stetoskop yang tergantung di dekat jas dokter milik Faren.
"Tentu. Apa kamu tahu alat ini?" Tanya Faren balik seraya menyodorkan alat tersebut pada Dhean. Nampak jika mata bocah itu berbinar binar saking senangnya.
"Yang Dhean tahu, alat ini dipakai untuk mendengarkan detak jantung. Iya 'kan?" Pertanyaan polos Dhean membuat Faren dan juga Nathan terbahak bersamaan.
Dhean tak pernah tahu mengapa ia harus mengkonsumi secara rutin beberapa obat obatan yang diberikan oleh Rafi. Jika bertanya, Rafi pasti akan menjawab itu semua adalah vitamin, sama seperti jawaban Nathan dan juga Faren.
"Dhean capek, Pa! Kenapa Dhean harus minum obat terus? Papa aja nggak pernah mikirin Dhean apalagi Mama! Dhean ingin normal seperti Rani dan Angel. Dhean ingin bersepeda bersama mereka. Tapi, apa? Papa selalu mela-"
Sebuah tamparan kecil seketika membungkam mulut Dhean. Bocah itu terkejut. Rafi sendiri sama terkejutnya dengan Dhean.
"Tak seharusnya kau berlaku kasar pada, Dhean!" Bentak Rafi seraya membawa Dhean ke dekapannya. Bisa ia rasakan bocah itu menangis sesenggukan.
"Dia yang manja!" Balas Iliya tak terima. Perasaannya bersungut sungut kesal. Lantas ia pergi meninggalkan keduanya.
"Sudah, ya? Jangan menangis. Dhean kan kuat. Ingat, dong. Laki laki nggak boleh nangis, laki laki harus kuat!" Ujar Rafi memberinya semangat. Mata Dhean berbinar binar. "Nah, sekarang, kamu main sama Rani dulu. Jangan sampai kelelahan. Jika mimisan, cepatlah pulang. Oke?" Dhean mengangguk antusias. Ia mengambil sepedanya yang terparkir di samping rumah. Meninggalkan rumah sederhananya.
"Iliya, kita perlu bicara," Rafi berusaha sebisa mungkin untuk tidak meninggikan nada bicaranya. Wanita itu tak menggubrisnya sama sekali. Masih saja asyik memotong sayur sayuran yang akan dimasaknya. Rafi menghela nafas gusar.
"Jangan merajuk. Aku mau membicarakan ini. Tentang Dhe-"
"Dhean lagi? Apa Papa nggak bisa sehari saja tanpa membahas Dhean?"
Lagi lagi Rafi menghela nafas. Berkali kali mencoba meyakinkan Iliya ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. "Bukan begitu, Ma-"
"Apanya? Cukup! Aku nggak mau dengar apapun la-"
"Mama! Bisakah Mama berhenti memotong ucapanku?" Tanpa disadari, Rafi mencengkeram kedua pundak istrinya agar mau mendengarkannya sejenak. Wanita itu mengalah untuk kali ini saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Teen Fiction"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...