Saat hati tak mampu menerima kenyataan, saat mata tak bisa menatap kepedihan yang begitu mendalam, bibir juga tak akan kuasa mengucap sepatah kata.
Hari dimana Dhean di tunggu tunggu siuman, kali ini pupus sudah. Karena Tuhan sangat menyayanginya. Tak mau melihat sosoknya menderita lagi dalam balutan depresi yang terus menjalar dan juga penyakit alzheimer.
"Ran, udah jangan nangis. Tante Iliya juga sama merasa kehilangannya kayak lo," ujar Selatan merengkuhnya. Sejak kabar terakhir mengenai Dhean, gadis itu seolah kehilangan dunianya. Ia tak mau makan, minum, bahkan tidur. Hanya menangis sepanjang waktu seraya tak henti menyalahkan dirinya atas kematian Dhean.
Waktu berputar sangat cepat. Tak terasa jika hari ini, Dhean benar berpulang. Tanpa memberi kesempatan teman temannya untuk berbicara dengannya. Dini hari, hari ke-76 Dhean menghembuskan nafas terakhirnya setelah kedua kali mengalami masa kritis akibat saraf otak yang terganggu. Dokter Faren yang kala itu sedang berjaga menggantikan Danu yang kelelahan. Ia panik setengah mati, dengan wajah penuh ketakutan ia mengguncang tubuh Danu agar cowok itu terbangun. Karena setelah itu ... Dhean berjuang melawan takdir sendirian.
"Dhean?" Rani membuka kain putih yang menutupi tubuh Dhean. Nampak jika tubuh itu sudah tak bernyawa dan begitu pucat. Rani menggenggan erat tangannya. Berharap kalau kalau Dhean kembali membuka matanya meskipun sangat mustahil terjadi.
"Kamu kok pulang sih? Kenapa nggak ngajak aku? Kamu tega ya," wajah Rani sudah dipenuhi oleh buliran air mata yang kian menderas. Mengusap usap tangan dingin itu di pipinya.
"Kamu tega membiarkan aku sendirian? Kamu 'kan sudah berjanji buat nggak meninggalkan aku, Dhe. Kenapa kamu mengingkari janjimu sendiri? Kenapa kamu melakukannya? Padahal-" suara Rani tercekat. Ia mengontrol sejenak nafasnya yang naik turun tak beraturan karena menahan tangisnya. "Padahal kamu tahu jika aku tak pernah bisa kamu tinggal sendirian.." imbuhnya. Seseorang menepuk pundak Rani. Belum sempat ia melihat, namun pasti jika dada bidang seseorang tengah mencoba menenangkannya dalam situasi seperti ini.
"Udah, Ran. Dia udah tenang, udah istirahat. Jadi, tolong ikhlasin aja ya? Lo tangisi terus yang ada dia nggak bakal bisa pergi," ujar Selatan. Rani mengangguk mengerti. Ia berjalan keluar dengan Selatan yang menggandeng tangannya.
"Aku nggak bisa, Tan. Aku nggak bi-" Selatan meletakkan ujung jarinya di depan bibir Rani. Dengan arti menyuruh gadis itu untuk diam. Jarinya berpindah, mengusap air mata Rani yang belum juga berhenti mengalir menggunakan ibu jarinya. "Gue tahu ini berat buat lo, Trisuci Indah Maharani. Lo tuh cewek tegar dan kuat. Jangan lemah begini, gue tahu semuanya bakal memakan proses yang lama. But, trust me, dear. Lo harus bisa melepaskan dia. Ikhlasin kepergiannya. Gue juga akan membantu lo," ujar Selatan kemudian.
Tak ada yang menduga sama sekali jika insiden drama konyol karena sekotak rokok bisa mengantarkan nyawa seseorang menuju kematian.
Aileen tiba tiba saja bersujud. Tepat di depan kaki Iliya dan Arnold. Ia mengenal kedua orang tua itu meskipun tak pernah melihatnya.
"Om, tante, yang membuat Dhean seperti ini adalah saya. Saya minta maaf, om, tante. Dhean begini gara gara sa-"
"Rupanya kamu? Dasar gadis kurang ajar! Saya akan melaporkanmu! Lihat ulahmu! Anakku meninggal dunia! Apa kau bisa menggantikan nyawanya?" Iliya mengamuk hebat. Tentu saja Arnold memegangi lengan istrinya agar tak membabi buta gadis di depannya.
"Jawab!" Bentak Iliya seraya menendang keras kepala gadis itu. Aileen tersedu. Ia memeluk kaki Iliya seraya terus meminta maaf.
"Saya tak bisa menggantikan nyawanya! Tapi, tante bisa berbuat apapun untuk membalaskan dendam tante!" Ujar Aileen masih dengan nada memohon. Iliya mendorongnya kasar. Membuatnya terjerembab di atas paving.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Dla nastolatków"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...