[Bab 22] Sadness

50 8 0
                                    

Dalam gelapnya malam, dini hari saat sepi datang mengunjungi. Pesona kerlip bintang bertaburan diiringi Dewi Malam terlihat begitu indah memanjakan mata. Dinginnya angin malam juga ikut memeriahkan suasana penuh sedih.

Dhean seolah tak lagi menghembuskan nafasnya jika saja tak ada oksigen yang membantunya terus hidup. Selang selang itu semakin hari seolah semakin banyak.

"Nggak ada harapan lagi?" Tanya Devian. Semuanya bergeming. Saling tatap. Tengah malam begini belum ada satupun yang mau pulang. "Ada. Aku yakin masih ada harapan. Dhean berjuang disana. Melawan takdir antara hidup atau matinya. Kalian jangan putus semangat gitu dong! Dhean nungguin kita semua, tahu!" Ujar Rani memberi semangat teman temannya yang mulai putus asa lantaran Dhean tak memberi tanda tanda.

"Kita pamit pulang deh. Dan, jangan lengah lo. Om, tante, pulang dulu," ujar Devian seraya menyalami tangan Arnold dan juga Iliya secara bergantian.

"Oh ya, sebulan lagi mungkin ada ujian. Entah diundur apa dimajuin gue nggak tahu. Sekolah nggak pernah bilang. Semoga aja Dhean udah sadar," celetuk Devian dibalas anggukan oleh Danu.

-oOo-


"Gimana, dok?" Nathan menatap gelisah ke arah rekannya, Dokter Faren. Rekannya belum menjawab sama sekali. Pria itu masih sibuk menulis.

"Terima kasih Tuhan. Dhean baik baik aja. Kemungkinan sadarnya cuma 0,1 persen. Sudah dua bulan ini Dhean tak memberikan tanda sadarnya. Saya-" suara Faren tercekat. Ia terduduk lemah diikuti tangis pelan dalam diamnya. "Saya gagal menyelamatkannya. Mungkin akan percuma sekalipun alat bantu itu tetap dipasang. Hanya akan membuat pasien menderita secara terus menerus," imbuh Faren. Suaranya parau. Kedua tangannya juga gemetar sejak tadi.

"Cukup, Faren. Kita harus tetap berjuang menolongnya. Jangan putus asa. Sudah menjadi tugas dokter menyelamatkan nyawa pasien." Nathan membantu Faren berdiri. Mencoba menguatkan sosok pria yang terlalu sering menyalahkan dirinya atas ketidakberdayaan pasien.

"Kondisi psikologi Dhean belum membaik. Semakin parah dan saya dengar dia sering berdelusi sebelum koma," ujar Nathan. Matanya menatap lurus ke arah Dhean yang masih tenang.

"Benar, Danu juga bilang begitu. Alzheimer itu seperti silent killer. Gejala dan perkembangannya nyaris tak bisa diketahui oleh orang awam." tukas Faren. Kedua dokter itu keluar dari ruangan menemui keluarga Dhean.

Faren menatap sejenak rekannya. Nathan mengangguk, memberi tatapan bahwa semuanya akan baik baik saja. Keluarga Dhean pasti menerima kenyataan ini. Faren menarik nafasnya pelan. "Begini, penyakit Dhean semakin parah. Saya sedang berusaha mencari jalan keluarnya. Kemungkinan Dhean sadar hanya 0,1 persen. Alzheimer tak bisa disembuhkan secara total, tetapi, perkembangannya bisa dihambat melalui obat obatan. Mungkin, Dhean menyimpan banyak obat obatan di kamar-"

"Gue udah lihat kok. Cuma gue diem aja. Di laci meja kamar dia, ada empat kalo nggak lima jenis obat di sana. Ada satu obat beda. Warnanya putih dan ada tulisan khas dokter. Yang gue tahu obat itu antidepresan," potong Danu. Nathan mendengus gusar. Ternyata semua orang satu per satu mulai tahu tentang apa yang disembunyikan oleh Dhean.

"Sepertinya kita memang tak bisa Bersembunyi Di Balik Telunjuk lagi ya, dok. Semua orang memang seharusnya tahu hal ini se-"

Bugh!

Sebuah tinju dengan manis mendarat di pipi Faren. Membuat ia terhuyung dan nyaris saja terjatuh jika Nathan tidak menarik lengannya.

"Maksud lo apaan, hah?!" Bentak Danu. Cowok itu sudah dipegangi oleh Arnold dan juga Selatan. Melihat sorot matanya begitu mengerikan berapi api. Faren sedikit tercekat akibat serangan mendadak barusan. Ia mengusap darah di ujung bibirnya.

KaleidoskopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang