Dhean bersyukur sekali Tuhan menggagalkan pernikahannya dengan Aileen. Sikap gadis itu terungkap seluruhnya. Malam kemarin, Dhean memang bercerita banyak hal bersama Aileen sebelum akhirnya gadis itu menyerahkan diri.
"Ada yang ingin kukatakan sebelum aku menyerahkan diri," suara Aileen memecah keheningan. Dhean menoleh diiringi ekspresi 'katakan saja'. Gadis itu menghela nafas. Lalu, disusul isak tangis yang terdengar begitu pelan.
"Aku yang melakukannya. Christine nggak salah. Aku yang menabrak anak itu. Membuang jasadnya di jurang yang nggak jauh dari lokasi. Aku terlalu takut buat ngakuin semuanya. Aku nggak mau di penjara. Satu hal lagi, Dhe. Aku masih ingin bersamamu," suara Aileen terdengar gamang. Punggungnya bergetar lantaran menahan tangisnya. Dhean tersenyum hangat. Mengelus punggung gadis itu dan membawanya ke dalam pelukannya.
"Aku sudah tahu semuanya, sayang. Menyerahkan diri adalah satu satunya jalan keluar," tukas Dhean membenarkan. Aileen masih sesenggukan. Ia semakin erat menggenggam tangan Dhean.
"Jangan khawatir, aku akan selalu menjengukmu. Aku tak akan pergi. Lagipula, kenapa kamu bisa menyukai aku? Sedangkan aku penyakitan seperti ini,"
Aileen menegakkan punggungnya. Mengusap air mata dengan dibantu Dhean. "Itu sulit. Tapi, salah satu alasan kuat kenapa aku bisa suka sama kamu karena kamu berbeda dari laki laki lainnya yang kukenal. Kamu tulus. Bahkan mau memaafkan sikapku yang hampir membunuhmu waktu itu," Aileen menjeda ucapannya sejenak. Mengatur deru nafasnya yang semakin tak karuan dan juga degup jantungnya yang semakin menggila.
"Laki laki yang berhasil meluluhkanku itu cuma kamu," imbuhnya kemudian. Dhean masih tersenyum. Meski sebenarnya senyuman itu justru menyiratkan jika dirinya benar benar kecewa dengan sikap Aileen. Senyuman yang justru mengartikan jika Dhean merasa sangat marah. Ia tak mau mengungkit luka lama yang dibuat oleh Aileen. Ia tak mau membuat gadis du sebelahnya semakin dibelenggu oleh perasaan bersalah.
Aileen tersenyum terakhir kalinya. Dhean mengusap air matanya. Ia ingin mengantarkan Aileen menuju kantor polisi. Hanya saja, gadis itu menolak halus. Ia tak mau Dhean terlibat lagi dalam hal rumit. Cukup saja semuanya sampai di sini. Dhean berusaha menegarkan hatinya untuk tidak sedih. Ia berjanji pada dewi malam yang menjadi saksi, bahwa ia tidak akan lagi sedih karena perempuan.
Awalnya, aku berpikir jika semua ini tidak lernah terjadi. Mulai dari kematian Papa. Kasus mengenai diriku yang sering konsultasi ke psikiater. Obat antidepresanku yang jatuh dari tas dan nyaris saja ditemukan oleh Devian. Alzheimer. Mati suri. Meninggalnya Ghisselle Angelina Polland. Hingga ditangkapnya Aileen atas tuduhan pelaku tabrak lari.
Kupikir, hidupku akan berjalan normal seperti anak lainnya. Ternyata, aku salah besar. Sejak kecil, aku memang diharuskan mengkonsumsi obat obatan yang tak pernah kuketahui apa fungsinya. Hingga menginjak umur 15 tahunlah aku baru mengerti sebuah kenyataan bahwa sebenarnya aku ini sakit. Penyakit yang tidak main main dengan urusan nyawa, yakni Alzheimer. Aku selalu menyembunyikannya dari siapapun termasuk sahabat terdekatku, Rani.
Aku berusaha memaafkan semua sikap buruk teman temanku dan berusaha menerima diri sendiri saat aku tak lagi mempercayai diriku.
Papa, aku sudah berhasil bertahan hidup sampai sejauh ini. Papa baik baik ya? Jangan khawatir, Dhean selalu datang untuk mendoakan yang terbaik buat Papa. Andai Papa tahu, jagoan Papa ini sudah menjadi asisten dosen di London.
Mama, sejujurnya aku tak pernah membenci mama sama sekali. Aku hanya berusaha melupakan memori masalalu yang begitu buruk. Tapi, mama selalu saja mengungkitnya dan itu membuat mimisanku tak bisa berhenti. Maafkan aku, Mama.
Jika memang ini menjadi yang terakhir bagiku, maka, aku mengucapkan banyak terima kasih dan seluruh permintaan maaf jika sikapku kurang ajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Teen Fiction"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...