[Bab 28] Memories

46 5 0
                                    

Aku sempat menolak bahwa ini tak akan pernah terjadi. Waktu terasa sangat lambat. Apa yang tak seharusnya aku rasakan, justru datang tanpa permisi. Sebuah hal yang tak seharusnya aku biarkan tumbuh, justru merebak begitu cepat. Aku tak pernah menyangka jika mencintai rasanya sesakit ini. Aku berbohong pada perasaanku.

Dhean Anggara masih tetap sama seperti dulu. Menatapku dengan mata teduhnya begitu menenangkan. Cara ia begitu menghormati kaum perempuan cukup membuatku terpikat. Jangankan perempuan, berkelahi saja ia tak mau. Yang kutahu, ia memiliki sedikit keahlian dalam beladiri.

Aku tahu hidupku tak akan lama lagi. Mengetahui jika cintaku terbalaskan rasanya seperti menari bersama kupu kupu. Selang infus selalu tertancap dengan pemantauan selama 24 jam penuh membiatku sedikit jengah. Aku menolak. Jika boleh, aku pasti memilih tak berpenyakitan. Tentu saja. Semua orang masih memiliki sisi baik, mereka tahu bahwa selama ini aku terlalu memaksakan untuk menyesuaikan diri.

Hidupku tak lama, ya. Aku menangis. Berjuang di malam hari melawan penyakitku sendirian. Sedangkan maut tengah menghampiriku. Tangisan menyertai. Hanya ada Papa dan juga dokter ikut menemani. Sejenak, aku membiarkan Papa mengecup dahiku terakhir kali. 'Tanganmu dingin sekali.' Begitu katanya. Setelah itu, hanya kegelapan yang kulihat.

- Ghisselle Angelina Polland

***

Aku tak pernah tahu jika ternyata sosok Dhean yang begitu kuat memiliki sisi rapuh. Sempat kupergoki ia akan mengakhiri hidup dengan menenggak racun. Berkali kali aku mencoba meyakinkannya jika Iliya tak bermaksud melukai hatinya. Mental illness yang ia miliki tak main main. Depresi dan juga Anxiety telah berpadu. Membuat keadaan mentalnya terkadang memburuk secara tiba tiba.

Permintaan maaf aku sampaikan meski tak bisa secara langsung aku ucapkan. Diiringi doa serta harapan bahwa Dhean benar benar pulang. Bukan hanya berjanji yang dijadikan sebagai penenang hati orang lain.

Aku selesai, hidup dengan penuh tekanan ternyata terasa sangat sulit. Aku berharap bisa mendonasikan sebagian hidupku untuk Dhean. Tak terlalu mengerti sebenarnya apa yang diserang oleh Alzheimer. Tak mungkin juga aku mendonorkan otakku. Komponen inti dalam tubuh yang jelas tak bisa dicopot-sambungkan dengan saraf pusat halus.

Dhean, aku minta maaf jika tak bisa menyelamatkan nyawamu. Aku hanya makhluk yang memiliki kemampuan berharap lebih pada Tuhan agar merubah takdir. Kau tahu? Sindrom Baby Blues lebih mengerikan dari yang kusangka. Selatan berupaya agar aku tak mencelakai bayiku sendiri. Alhasil? Tubuhku yang menjadi pengganti.

Aku mengucap selama tinggal. Salam dari Trisuci Maharani. Perempuan yang pernah memendam lama perasaan padamu selama bertahun tahun.

- Trisuci Indah Maharani

***

Aku sempat mengira jika kau hanyalah lelaki pengeluh. Namun, aku salah menilai. Justru akulah lelaki pengeluh itu. Keluargaku tak pernah harmonis. Bahkan hingga sekarang.

Beberapa kali aku membentak, membandingkanmu dengan keadaan hidupku. Padahal, aku tahu jika setiap orang pasti memiliki masalah masing masing. Andaikan aku mengerti dan bersikap sedikit lebih dewasa sejak lama, pasti Dhean tak akan merasakan derita yang semakin dalam.

Alzheimer yang sempat membuat Dhean nyaris saja meninggal. Bukan itu. Alien sinting itulah penyebabnya. Dia terlalu nekad. Aku bisa saja menjebloskannya ke dalam jeruji besi jika dia tak memohon, menangis, membuat drama, bahkan rela meciumi kaki Tante Iliya.

KaleidoskopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang