Segala kekurangan bisa tertutupi
dengan saling menerima.
-Dhean-🎈🎈🎈
"Aku baik baik saja. Akan kujelaskan pada Mama nanti. Jangan khawatir," ujar Dhean mencoba meyakinkan Danu. Ia tahu, Danu berniat menghajar teman temannya.
"Tapi, Dhe, mereka-"
"Ck, kebiasaanmu memotong ucapan orang lain masih saja tak berubah. Dengarkan aku, Bang. Mereka nggak salah, mereka nggak tahu apa yang terjadi kalau aku dibawa ke sana bukan karena kemauanku. Jangan salahkan mereka!" Nada bicara Dhean sedikit meninggi. Sulit sekali meyakinkan Danu jika ia sudah dikuasai emosi. Dhean mendorong kakaknya keluar dari kamar. Menguncinya dari dalam sehingga tak membiarkan orang lain berinteraksi dengannya sejenak.
"Gimana? Kami nggak tahu kalau kejadiannya bakalan separah ini, Bang. Maaf," Selatan berdiri. Mewakili teman temannya yang tengah membisu akibat tatapan mengerikan Danu. Lelaki itu tak menjawab. Hanya mendudukkan secara kasar bokongnya di sofa.
"Untuk kali ini, jangan ganggu dia dulu. Gue nggak mau ada masalah lagi. Kalian pulang aja, sebentar lagi juga hujan. Lo punya bayi, Tan. Harusnya dirumah, jaga istri sama anak. Bukannya ajak dia ikut keluyuran. Lo kira lagi piknik." Kalimat terakhir Danu membuat wajah Selatan merah padam karena menahan malu. Sementara temannya yang lain, sibuk menyembunyikan tawa mereka.
-oOo-
"Danu? Where's Dhean?" Seorang gadis tiba tiba saja masuk rumah setelah beberapa kali mengetuk pintu, tetapi, tak ada satupun jawaban.
"Lo di negara sendiri. Nggak perlu ngomong pakai bahasa orang. Dia di kamar. Lagi main game kayaknya," jawab Danu setengah berteriak. Ia membantu Bi' Yanti memasak. Mengetahui jika calon istri Dhean datang berkunjung. Gadis itu mengangguk seraya berjalan pelan menuju kamar Dhean.
"Aileen?" Dhean sedikit terkejut. Melihat kedatangan calon istrinya tanpa mengabari dahulu.
"Maaf, sayang. Kamu sih! Aku telepon berkali kali nggak diangkat," gerutunya. Dhean tertawa pelan. Mengacak rambut Aileen dengan sayang. Dhean sendiri tak mengerti. Mengapa bisa jatuh cinta dengan gadis yang dulu nyaris merenggut nyawanya.
☆
"Aku jahat. Bahkan nggak pantas dapat kata maaf dari kamu. Tapi, aku mau jujur, Dhe. Aku benar benar suka sama kamu. Aku naif. Mencelakaimu bahkan hampir membunuhmu. Bryan marah, sangat marah padaku. Ia bingung mengapa aku bisa sekejam ini. Kau tahu? Aku adalah sahabat Danu. Aku teman Danu semasa SMP, saat ia sekolah di London,"
"Lalu?" Tanya Dhean masih tak bereaksi apapun selain memberikan kesan dingin. Aileen menunduk dalam. Ia semakin tak berani menatap mata tajam Dhean.
"Tante Iliya mengerti. Om Arnold berusaha menerima kondisiku. Aku salah. Bryan berusaha menenangkanku. Harusnya aku ada di rumah sakit jiwa. Menjalani banyak terapi. Aku sendiri sempat berkali kali melakukan bunuh diri. Aku lelah jika harus menderita," Aileen masih terus berbicara. Hati Dhean tergerak untuk menenangkan gadis yang tengah dibelenggu perasaan bersalah. Ia memeluknya.
"Aku tahu. Aku sendiri sakit, antidepresan yang sering kuminum sudah jarang aku konsumsi," ujar Dhean. Aileen kali ini benar benar menangis. Meminjam sejenak dada bidang Dhean untuk menumpahkan segala kesedihan yang ia tahan selama ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Teen Fiction"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...