[Bab 9] Tak Diduga

39 9 0
                                    

Pesta semalam benar benar dihancurkan oleh sekelompok orang yang tak dikenal. Hanya dua dari mereka semua yang Dhean tahu. Devian dan Rafardhan. Datang menolongnya saat musibah menimpa.

"Lagian lo sih, sok sok an amat main ke Bar padahal minum seperempat gelas aja udah teler," ledek Rafardhan.

"Udah kali, Raf. Lo tuh niat bantuin nggak sih? Malah ngehujat nggak jelas. Udah tahu si Dhean kena tusuk juga. Emang apa sih yang bikin lo benci banget sama dia?"

Akhirnya, Dhean merasa terwakilkan karena Devian menanyakan hal yang sudah sangat lama ingin ia tanyakan. Rafardhan terdiam. Berpura pura berpikir.

"Nggak suka aja lihat Ghissell deket banget sama dia."

"Lah, si daki kuda. Bisa cemburu lo ternyata?" Devian meledek Rafardhan balik. Lucu memang, jika dua orang lelaki bermulut pedas disatukan ternyata begini hasilnya. Melebihi cabai terpedas di dunia.

"Gue kira manusia model lo nggak bisa cemburu," lanjut Devian. Dhean hanya memerhatikan keduanya. Sesekali tertawa sambil menahan sakit di punggungnya.

Yann dan Hideki datang menjenguk ketika jam istirahat tiba. Yann membawakan sebuket bunga pada Dhean. Devian dan Rafardhan melihatnya seraya menahan tawa. Itu konyol. Dhean sendiri bukanlah perempuan yang harus setiap dijenguk minta dibawakan sebuket bunga.

"Buat apaan?" Tanya Devian seraya terus menahan tawanya.

"Kan dia sakit,"

"Lah, lo kira dia tawon apa suruh makan bunga?" Sahut Rafardhan yang akhirnya membuat tawa Devian dan Hideki pecah bersamaan. Lagipula, mana ada orang sakit dibawakan bunga? Harusnya "kan buah atau roti.

"Lo emang kelainan sumpah, Yann. Gue udah ngasih tahu lo, bego. Masih tetap aja ngotot ngasih bunga," sahut Hideki setelah tawanya reda.

"Abis ini, sekalian bawa tanah atau kalo perlu kijing sekalian dah," Rafardhan ikut bersuara kembali membuat tawa Devian dan Hideki menyembur bersamaan lagi.

"Aku belum meninggal astaga," sahut Dhean cuek.

"Canda." Jawab Rafardhan jutek.

"Eh iya, Raf, gue nggak nyangka ternyata lo suka mabuk ya? Gimana? Rekamannya masih ada 'kan?" Tanya Devian tiba tiba. Dhean mengerutkan keningnya. Mencoba mencerna apa yang Devian ucapkan barusan. Namun, ia ingat jika semalam sempat melihat laki laki memainkan ponsel dan mulai merekam ketika pengeroyokan terjadi. Wajahnya tak terlalu jelas lantaran cahaya lampu yang kurang  memadai.

"Mabuk? Gue ada urusan kali sama klien. Lagian gue nggak doyan minum kayak begituan. Efek ngefly doang dapet faedah juga kagak," elak Rafardhan.

"Dan lo juga. Ngapain kesana? Ternyata cowok diam tuh lebih mengerikan daripada yang beringas," imbuhnya lebih ditujukan pada Dhean. Sang empu memutar bola matanya malas.

"Oh, aku belum bilang? Coach Aaron, pelatihku basket di London yang ngajak. Kukira ada apa, ternyata malah dikeroyok,"

Kejadian semalam sempat menghadirkam sosok Rafi sebelum Dhean benar benar kehilangan kesadarannya. Rafi seolah datang, menyibak kerumunan yang menghajar tubuhnya tanpa ampun. Seolah memberi pertolongan padanya.

"Kamu baik baik saja 'kan, nak? Jangan khawatir. Rumah sakit tak jauh dari sini. Kita segera sampai. Jangan khawatir, Papa akan selalu ada untukmu," suara pelan Rafi seakan masih terngiang jelas di telinganya. Jika dipikir, semakin mengerikan. Dhean nyaris tidak pernah lepas dari delusi yang dialaminya secara terus menerus. Bahkan penggalan penggalan memori masa kecilnya jiga seringkali terlintas. Bukan mimpi, ia melihat dengan jelas bagaimana rupa Rafi begitu khawatir saat melihatnya terluka.

KaleidoskopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang