"Kok lo bisa nuduh gue ngebully dia sih?" Seorang laki laki bermata biru itu terlihat tak terima. Namun, sahabatnya itu justru tertawa. Menatap reaksi si lelaki jika ternyata diluar dugaannya."Gue tahu, lo nggak ikutan. Tapi, gue punya alasan lebih kuat. Di banding anak tim yang lain, cuma lo yang tahu soal Dhean," balas lelaki berambut agak keabu abuan, menatap tajam serta tak suka.
"Gue nggak bocorin, Dan. Jangan nuduh yang enggak enggak kalo nggak punya bukti," elaknya. Danu terkekeh. Mencoba memancing sedikit Jo agar cowok itu keceplosan berbicara.
"Terus, kok Aileen bisa tahu?"
"Dia saudara gu-" Jo langsung menutup mulutnya. Wajahnya terlihat merah padam dan dibalas oleh pecahnya tawa Danu. "Nahkan ketahuan, berarti Bryan juga sekongkol?" Tanya Danu setelah tawanya mereda. Jo akhirnya menunduk diikuti gelengan kepalanya.
"Bryan nggak tahu apa apa, Dan. Jangan salahin dia," jawab Jo.
-oOo-
Danu ingin menjadi tameng bagi adik tirinya. Ia ingin melindungi sisi diri Dhean yang memiliki begitu banyak luka. Danu menatap adiknya, yang sedang berdiam diri di dalam kamar tanpa melakukan aktivitas apapun selain memainkan ponselnya."Lo nggak berangkat?" Tanya Danu. Dhean melongokkan kepalanya. Lalu menggeleng. "Malas," lanjutnya. Seragam putih abu abu sudah melekat rapi di tubuh atletisnya. Ia hanya tinggal berangkat ke sekolah. Karena sejak kejadian dimana ia dan Aileen beradu mulut, hal itu membuatnya agak malas datang ke sekolah. Sudah pasti Aileen akan bertingkah sok manja padanya.
"Nggak konsul?" Tanya Danu lagi. Dhean agak terkejut mendengarnya, beruntung ia bisa menutupi keterkejutannya dengan balik bertanya, "sekarang baru tanggal 1. Lagipula aku tak memintamu untuk mengantarkanku. Kenapa memangnya?"
Danu tak menjawab. Hanya menyodorkan semangkuk ramen hangat di depan Dhean dan melongos begitu saja. Dhean sendiri agak bingung, sejak kapan Danu bisa memasak?
Baru saja hendak memasukkan kuah ramen ke dalam mulut, ponsel Dhean berdering. Ia mendecih, kenapa selalu ada saja orang yang menelponnya?
"Jika tidak penting ja-"
"Lo kena skors," ucap Selatan di seberang sana. Dhean hanya mengucapkan kata 'oh' saja dan itu cukup membuat Selatan mengamuk.
"Iya, tiga hari. Gara gara lo seringan bolos sekarang. Lo kenapa sih, Dhe? Ada masalah apa sebenarnya?" Desak Selatan. Dhean menghembuskan nafas beratnya sebelum menjawab.
"Devian. Tanya dia, jawaban ada padanya. Sudah, jangan menggangguku. Aku sedang makan." Lantas Dhean memutus panggilan beserta dengan ponselnya. Ia nenyeruput kuah ramen hangat itu. Ada telepon lagi, kali ini telepon rumah yang berbunyi. Lelaki itu dengan amat sangat malas berjalan menghampiri telepon yang terus saja berdering.
"Halo, di kediaman Anggara. Ada apa?"
"Ini aku, Aileen," suaranya terdengar bisik bisik dari sana.
"Oh. Ada perlu apa? Kau sekolah dan jika tak penting jangan menelpon,"
"Flashdisk ku masih ada padamu 'kan? Aku akan kerumahmu sore ini. Dahh."
Dhean meletakkan gagang telepon sedikit kesal. Dan meninggalkan ramen yang masih hangat begitu saja di atas meja makan. Tak mengacuhkan aroma dari ramen yang sedang melambai lambai kearahnya.
"Makan, woi. Lo adek kurang ajar banget!" Bentak Danu dan dibalas dengan lambaian tangan oleh Dhean, pertanda jika lelaki itu tak mau. Danu mendengus. Ia akhirnya menghabiskan ramen buatannya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Teen Fiction"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...