"Pa, apakah aku sudah menjadi anak yang baik?" Tanya Dhean seraya menatap lekat Rafi yang sedang sibuk memasak. Pria itu menoleh diiringi tawa.
"Apa maksudmu? Tentu saja kamu anak yang baik. Bahkan sejak kamu lahir," jawab Rafi pelan. Dhean tak bertanya lagi. Ia menghampiri Papanya yang masih saja sibuk memasak.
"Dhean ini bukan anak Papa, ya?" Tanya Dhean.
Rafi membisu seketika. Pertanyaan itu sangat ia hindari. Cepat atau lambat, Dhean pasti mengetahui semuanya.
"Tentu saja kamu anak Papa. Kenapa bertanya begitu?" Tanya Rafi berusaha menetralisir kegugupannya. Dhean hanya mendengus sebelum pergi. Is memilih menemui Rani dan Ghissell sekarang.
"Ada yang ingin ku ceritakan," ujar Dhean membuat kedua perempuan itu memusatkan perhatian mereka pada Dhean.
"Aku baru sadar ternyata aku bukan anak kandung Papa. Tetapi, kenapa Papa tidak mau mengakuinya? Malah bilang kalau aku ini anak Papa,"
Siapa yang menyangka jika anak berusia delapan tahun memikirkan hal ini? Rani dan Ghissell hanya saling berpandangan tanpa tahu maksud ucapan dari Dhean.
"Ah, lupakan saja. Aku harus pu-" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, hidungnya mulai mimisan. Tentu saja keduanya panik segera memanggil Rafi guna meminta bantuan.
Dhean memang sudah mengetahui seluk beluk semua ini. Sekalipun ia bukanlah anak kandung Rafi, perasaannya pada sang Papa tidak akan pernah berubah. Keinginannya bertemu dengan Rafi sekali saja sudah terwujud. Ia bisa beristirahat dengan tenang kali ini.
-oOo-
Gadis itu tersenyum hangat melihat putra kesayangannya berlarian ke sana kemari. Alvin Samudra namanya. Bocah itu sudah berusia genap enam tahun.
"Yang di dalam perut nggak minta aneh aneh 'kan?" Tanya Selatan dari balik jendela. Pertanyaan itu membuat Rani terkekeh pelan.
"ATAAAAAAAN!" Suara lantang Hideki membuat Alvin terkejut dan hampir saja menabrak pohon jika tidak memperhatikan.
"Jangan manggil gue kayak gitu di depan Alvin. Malu maluin. Ada apaan? Kayaknya girang banget,"
"Sialan lo. Gue wisuda kemarin kenapa nggak datang?! Kurang ajar. Sia sia gue nyariin lo sama Yann kemarin!" Hideki mendumel tak jelas. Tangannya bahkan menimpuk kepala Sekatan menggunakan gulungan yang dibawahnya.
"Oi, Danu pindah ya? Katanya rumah mereka yang di sini bakal dijual," celetuk Yann.
"Hooh, pindah. Sesekali bakal mampir buat nengokin Dhean. Sini kalian. Gue mau bakar jagung. Kalo mau, bantuin gue,"
"Yoiiiiii!" Jawab Yann dan Hideki bersamaan.
-oOo-
Kisah mengenai Dhean Anggara berakhir sampai di sini. Kisahnya terlalu rumit. Dipenuhi dengan banyak sekali masalah dalam hidupnya. Keluarganya memang sengaja memakamkan Dhean di Indonesia untuk mempermudah teman temannya ketika ingin mengunjunginya.
Rani, orang yang paling sering berkunjung. Ia selalu datang, bercerita tentang banyak hal, membawa bunga mawar yang akan diletakkannya di depan batu nisan. Seolah Dhean sedang mendengarkannya dengan seksama. Rani masih mengajak berbicara layaknya Dhean mssih hidup.
"Kamu hebat, ya. Bisa bertahan sampai sejauh ini. Aku kagum padamu. Ghissell pasti juga senang karena bertemu lagi denganmu, bukan? Aku punya kabar gembira. Samudra segera punya adik. Jaga dirimu baik baik di sana. Jangan pernah melupakan aku dan yang lain. See you later,"
"Terima kasih."
Rani menoleh cepat. Mencari sumber suara tersebut yang datangnya tak ia ketahui. Ia merasa suara tersebut memiliki sedikit kemiripan dengan suara Dhean.
"Ah, hanya halusinasi. Aku berharap kamu benar benar ada di sini, hahaha," Rani beranjak meninggalkan pemakaman. Tanpa disadari, ia kembali menangis. Memang, banyak yang menguatkannya untuk tidak terus sedih. Hatinya tidak bisa berbohong. Semua orang tahu tentang hal ini. Tidak sedikit pula yang merasa sedih karena Dhean benar benar pergi. Hujan selalu saja hadir ketika Rani pulang dari pemakaman. Seakan mengisyaratkan jika langit turut bersedih.
Hujan tidak selalu dirasa menyakiti karena membawa kenangan. Karena, dengan hujan ini Rani bisa mengerti. Hujan seringkali dikutuk karena datang tiba tiba, namun, tetap memberikan kesejukannya untuk para makhluk hidup. Bersama hujan, Rani belajar sedikit arti berjuang tak harus diberikan sebuah pengakuan. Hujan memberinya sedikit ketenangan. Tak peduli nanti akan berakhir seperti apa. Yang jelas, tetesan demi tetesannya cukup membuat sakit dalam rongga dada ini sedikit mereda.
Tak peduli seberapa sering hujan itu jatuh menyeka tanah pertiwi. Yang hujan tahu hanyalah memberikan sedikit kesejukannya, tanpa mempedulikan orang orang yang tak pernah menghargai keberadaannya.
"Tak adil. Semuanya sangat tidak adil. Ketika aku sudah mulai terbiasa dengan semuanya, bayangan mengenai Dhean kembali hadir. Membuatku semakin sulit merelakan kepergiannya. Bisa saja kali ini aku mengalah. Tapi, tetap saja aku yang kalah. Aku tak pernah bisa marah. Hanya bisa sedikit memberi keluh kesah. Sejujurnya, hatiku patah. Aku membencinya, sangat." Rani menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Terasa sangat sesak. Ia tak bisa meluapkan emosi sekarang. Tak ada celah disini. Meski Selatan menyadari jika Rani sedang menahan emosi saat ini.
Dalam balutan kisah penuh lara. Sendu yang sesekali hadir. Dhean kali ini bisa pergi dengan tenang. Ia bersyukur, ketika Rani menikah dengan pria sesabar Selatan. Ia menyadari jika dirinya terlalu egois dalam urusan hati. Ia egois karena mempertahankan kedua sahabat kecil perempuannya. Hatinya memilih Ghisselle Angelina Polland. Ketika gadis itu pergi lebih dulu, ia berpindah menuju Rani. Ia tahu, ini salah. Lagi lagi Rani mengalah, Dhean seketika kalah. Rani telah membuat keputusan yang baik dan Dhean menerimanya dengan senang hati.
Andaikan garis takdir bisa diubah, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Hanya saja, apapun yang telah terjadi biarlah berlalu. Danu dan yang lain hanya bisa menerima dengan lapang dada. Merelakan kepergian Dhean dalam waktu yang cukup lama. Masing masing dari mereka mencoba mengobati luka duka yang begitu mendalam, terutama Danu.
Kisah ini di tutup dengan ucapan terima kasih dan permintaan maaf dari Dhean. Ia merasa bersalah telah berbohong begitu banyak. Terlalu sering mengingkari janji yang ia buat. Lembaran terakhir telah usai. Kini, lembaran baru segera terisi kembali. Dhean Anggara berterima kasih. Meminta maaf sekali lagi apabila ada hati yang terluka karena sikapnya. Dhean Anggara, undur diri. Pamit dari kehidupan yang menyebalkan ini.
🍂🍂🍂
Akhirnya cerita ini tamat juga. Saya berterima kasih bagi siapapun yang membaca. Maaf apabila terlalu banyak typo dan beberapa kata sulit dipahami. Saya hanyalah amatiran yang sedang belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Teen Fiction"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...