Jika saja hari itu Dhean tak tepergok, maka Devian tak akan sesering ini mendiamkan dan tak lupa sesekali memberikan hadiah berupa satu tinju untuknya. Dhean tak merasa bersalah sama sekali, karena seharusnya yang sedikit tahu diri adalah Devian.
"Lo kenapa sih, Dhe? Nggak mau cerita ke gue kalo lo ada apa apa?" Tanya Devian bersungut sungut kesal. Dhean mengusap pipinya yang barusan ditinju oleh Devian.
"Aku memang tak memiliki masalah apapun. Kenapa kau ngotot?" Tanya Dhean balik sambil memberikan senyuman smirk nya.
"Jangan bohong! Emang apa salahnya sih jujur? Lo nggak pernah jujur ke gue! Dan jelasin, kenapa banyak banget obat penenang di laci kamar lo?"
"Dasar lan-"
"Terserah mau lo katain apa. Yang jelas lo mau cerita," lelaki itu masih kukuh dengan pendiriannya. Yakni memaksa Dhean agar ia mau membuka sedikit masalahnya.
"Jangan kaget. Jadi waktu umurku sepuluh tahun, mama ku dulu se-"
Bruk!
Benar saja, Devian panik. Dhean pingsan di depannya persis. Mengeluarkan banyak sekali darah dari hidungnya. Tentu hal itu membuatnya semakin ketakutan.
"Dhe, jangan gini please, gue minta maaf. Janji deh nggak bakalan maksa. Dhe, lo bangun dong. Nggak lucu tahu," Devian terus mengguncang tubuh Dhean agar ia mau membuka matanya.
"Wah, wah, dia 'kan harusnya ada di rumah sakit jiwa. Kenapa ada disini?" Suara itu, Devian berbalik spontan. Mendapati Aileen tengah tersenyum aneh kearahnya. Sambil memutar mutar sebuah flashdisk di jarinya.
"Jangan bilang kalo-"
"Tepat sekali! Ada banyaaaaak banget bukti tentang Dhean. Gue sih, niatnya mau pasang ini. 'Kan lumayan tuh, TV sekolah jarang kepake, jadi mau gue siarin ke satu sekolah biar pada tahu. Atau kalo perlu, di seluruh kota aja ya?"
Tatapan mata Devian menajam. Ia mengepalkan tangannys kuat kuat. Tetapi, hal itu disadari oleh Aileen. "Mau mukul, mas? Lo mukul, auto kesebar." Ancamnya sambil tertawa. Emosi Devian terus meluap. Sambil sesekali menatap Dhean yang tak kunjung sadar dari pingsan atau tidurnya itu.
"Sebenarnya mau lo apa sih? Kok suka amat nyiksa Dhean gini?" Tanya Devian geram. Aileen terkekeh tak jelas. Menggebrak meja UKS. Seketika tatapannya berubah.
"Gue sayang Dhean. Gue cinta sama dia. Dan lo nggak ada urusan sama gue, minggir. Jangan ganggu rencana gue. Bikin dia malu adalah cara terhebat gue biar dia kapok karena udah berani cuekin gue," jawab Aileen diselingi tawa pelan. Menatap sosok Dhean dan mendekat.
"Lo maju, semua anggota bokap gue juga maju. Jangan lupa, gue cucu pemilik sekolah yang paling disegani,"
"Baru juga cucu pemilik sekolah aja belagunya selangit, mbak. Kakek lo, bokap, atau antek anteknya itu bukan pejabat. Jangan sok tingkat selangit!" Bentak Devian. Hingga mampu membuat Aileen sedikit mundur karenanya. Gadis itu mendecih. Keluar dari UKS seraya mengucap sumpah serapah tak jelas.
Ternyata, dalang dari semua kejadian ini adalah Aileen itu sendiri. Devian tak habis pikir bagaimana Aileen bisa segila itu pada Dhean?
Dhean akhirnya terbangun sambil memegangi kepala belakangnya yang terasa nyut nyutan akibat terjatuh. "Lo tidur apa mati sih? Susah amat gue bangunin," cibir Devian. Dhean terkekeh. Mengucap terima kasih dan kembali ke kelas tanpa menunggu Devian.
"Dhe, cewek itu punya buktinya,"
"Siapa?"
"Aileen."
Dhean menghentikan langkahnya. Berbalik menuju ke kelas Aileen. Devian tak mencegah atau apa, ia justru berlari mengikutinya dari belakang.
"Len, dicariin tuh," Chrystine menepuk pundak kanan Aileen. Memberitahu gadis itu jika ada seseorang yang mencarinya. Ia melangkah malas menemui orang tersebut. Namun, malasnya tiba tiba saja hilang. Tergantikan dengan mata yang berbinar binar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaleidoskop
Ficção Adolescente"Katanya, Tuhan itu Adil. Tapi, kenapa nasib yang Tuhan gariskan untukku terlalu berliku? Bahkan aku tak diberi kesempatan untuk bahagia. Apa aku salah, jika aku ingin bahagia? Kenapa hanya aku yang merasa sangat menderita? Kenapa harus aku yang ber...